Kim II Sung bersama putranya, Kim Jong il pada sebuah reli massa di kota Pyongyang (Reuters) VIVAnews --Lebih dari sepekan Korea Utara menjadi negeri meratap. Air mata tumpah hampir di setiap sudut negeri sejak pemimpin Republik Rakyat Demokratik Korea itu, Kim Jong-il, mangkat pada 17 Desember lalu.
Dalam gerbong kereta saat perjalanan dinas, begitu dikabarkan televisi pemerintah, Kim Jong-il meninggal. Berita itu baru disiarkan ke rakyat setelah dua hari sang pemimpin pergi. Dia diduga terkena serangan jantung.
Korea Utara lalu berkabung sejak 20 sampai 29 Desember 2011. Perkabungan itu mengingatkan orang pada tahun 1994, saat pemimpin pertama Korut, Kim Il-Sung, meninggal. Rakyat Korea Utara, mulai dari petinggi, tentara, hingga pekerja pabrik dan petani tak berhenti meratap.
Kini, dari Ibukota Pyongyang, sampai pelosok desa, rakyat datang ke balai kota. Mereka menangis sejadi-jadinya di depan foto besar Kim Jong-il. BBC dan CNN melaporkan situasi itu berlangsung sampai lewat tengah malam.
"Duka itu bisa kita lihat di mana-mana. Ribuan rakyat Korea datang ke tempat jasad pemimpin mereka disemayamkan, di Kumsusan Memorial Palace,” ujar Duta Besar Indonesia untuk Korea Utara, Nasri Gustaman. Dia menyaksikan perkabungan massal di Pyongyang.
Di tempat itu, kata Gustaman, rakyat diberi kesempatan melayat mendiang Jong-il, yang jasadnya terbujur di kotak kaca, selama 20-27 Desember 2011. Gustaman melukiskan aksi berduka ini terjadi di setiap tempat umum, tempat foto Jong-terpampang. Di gedung atau stasiun, rakyat menyambangi potret sang pemimpin, lalu memberikan hormat. "Kita bisa melihat mereka menangis, dan meletakkan sekuntum bunga," ujar Gustaman kepada VIVAnews lewat telepon dari Pyongyang, Rabu pekan lalu.
Bagi masyarakat dunia, tangis massal di Korut ini luar biasa. Warga berlinang air mata. Ada yang bergumam menyalahkan diri sendiri. Ada pula merasa dunia telah berakhir.
Kantor berita pemerintah Korut, KCNA, melaporkan rakyat "menggeliat kesakitan setelah kehilangan Pemimpin Tercinta. Mereka menangis sejadi-jadinya, dan menyesal mengapa tidak bisa menjaga Kim Jong-il tetap sehat," demikian siaran KCNA.
"Saya tak bisa percaya. Bagaimana dia bisa meninggalkan kita? Apa yang akan kita perbuat?" kata seorang warga Korut, Kang Tae Ho, dikutip KCNA. "Kami merasa langit runtuh, dan bumi tenggelam. Kami tak percaya Kim Jong-il telah tiada," kata Pak Yon Chun, ketua suatu koperasi tani di Korut, yang juga disiarkan kantor berita pemerintah setempat.
Ratapan itu agak berlebihan bagi orang di luar Korut, dan seakan tampak Jong-il begitu didewakan. Seperti halnya pemujaan atas Kim Il-sung, begitu pula mereka memuja putranya, Kim Jong-il.
Tapi istilah didewakan mungkin tak begitu tepat. Menurut Gustaman, Jong-il memang dicintai rakyatnya. "Saya kira rakyat Korut begitu percaya kepada pemimpin. Jadi tidak mendewakan,” ujarnya. Mereka, kata Gustaman, hanya tak siap. Sang pemimpin tenyata pergi begitu cepat.
Ditinggal mati Kim Jong-il, Korut menyiapkan pengganti. Dia adalah Kim Jong-un, putra ketiga sang "Pemimpin Tercinta." Jong-un baru dua tahun muncul di panggung politik. Dia memang digadang jadi calon pemimpin baru, dengan sejumlah pertimbangan.
Warisan masalah
Korea Utara sepertinya tak lepas dari dinasti Kim. Sebagai pemimpin generasi ketiga, Kim Jong-un kini berhadapan dengan soal besar warisan ayahnya. Jennifer Lind, profesor dari Darmouth College, mengatakan Jong-un harus siap meladeni para musuh Korut, yang kini tercatat sebagai negara pemilik senjata nuklir.
"Di sebelah timur ada Jepang, kekuatan militer dan ekonominya menjajah Korea di awal abad ke-20. Di bawah ada Korea Selatan, yang pertumbuhan ekonominya 20 kali lebih besar, dan jumlah rakyatnya dua kali lebih banyak.
Kemampuan dan peralatan militer Korsel jauh lebih maju ketimbang Korut. Di utara, ada China kekuatan baru dunia. "Walaupun selalu menganggap Korut sebagai sekutu, China kadang juga jengkel melihat ulah Pyongyang," demikian analisis Lind saat mengidentifikasi ancaman bagi Korut.
Mereka ini, termasuk Amerika Serikat dan kecuali China, selalu gusar melihat manuver Korut memanaskan situasi di Korea. Rezim di Pyongyang, misalnya berkali-kali ujicoba rudal pembawa hulu ledak nuklir. Senjata pemusnah itu mampu melintasi Jepang, hingga pesisir barat AS.
AS, Jepang, dan Korsel kerap kesal oleh ulah Korut yang doyan memancing ketegangan di Semenanjung Korea. Empat tahun terakhir, Korut selalu memboikot Dialog Enam Pihak, yang juga melibatkan Rusia, dan China, mengatasi ketegangan, dan krisis nuklir di kawasan.
Main-main itu kadang dirasakan kelawatan. Korut, misalnya, menembak rudal ke Korsel pada 2010 lalu. Itu serangan terbesar dari Korut sejak Perang Korea 1950-1953. Perang itu sendiri secara resmi belum berakhir. Ia hanya didamaikan sementara melalui gencatan senjata oleh PBB.
Itu sebabnya, begitu mendengar Jong-il mangkat, Korsel lalu menerapkan siaga keamanan. Jepang pun segera mengontak Amerika Serikat, dan Korea Selatan. Ketiga negara ini memang kerap memantau perkembangan program nuklir Korut di bawah Jong-il. Bagi mereka, teknologi senjata nuklir Korut sangat merisaukan.
Seperti diberitakan laman Nikkei, Senin 19 Desember 2011, Perdana Menteri Yoshihiko Noda bertemu badan pertahanan Jepang sesaat setelah kematian Jong-Il. Dia meminta badan intelijen Jepang mengumpulkan informasi keadaan terbaru di Korut.
Informasi ini akan dibagikan kepada AS, Korsel, China dan negara lain. Jika ada yang membahayakan, maka negara di kawasan bisa segera ambil tindakan. Boneka di lemari kaca
Dari ayahnya Il-sung, Kim Jong-il juga mewariskan negara yang susah. Krisis pangan menghantui rakyat Korut selama 20 tahun terakhir. Mereka juga bermasalah dengan energi.
Di bawah Kim Il-sung, Korut adalah negara mandiri, pertumbuhan ekonominya stabil. Tapi belakangan, Korut makin tertutup dengan doktrin "juche” yang kadang ekstrim, dan menolak Korut terintegrasi di pasar global. Ekonomi negeri itu akhirnya terkucilkan, dan lalu merosot.
Setahun setelah Kim Il-sung wafat persoalan pun muncul. Sebagai pemimpin baru, Kim Jong-il dihadang bencana kelaparan di negeri itu. "Kelaparan selama 1995-1997 membunuh lebih dari satu juta warga, dan menciptakan generasi kurang gizi," ujar Lind di jurnal Foreign Affairs, 25 Oktober 2010. Separuh anak-anak di Korut dicurigai lumpuh, dengan berat di bawah standar.
Soal kesehatan ini memang memprihatinkan. Seorang warga Indonesia yang pernah bertugas di Korut, Andreza Dasuki, misalnya bercerita betapa sulit fasilitas medis di sana. Bertugas sebagai diplomat Indonesia di Pyongyang pada 2006-2008, Andreza mengatakan rakyat Korut menderita oleh embargo internasional.
Soal pangan, misalnya, sangat terasa sulitnya. Andreza mengutip data rekannya di Badan PBB di Korut, menurut kalkulasi, negeri itu akan selalu kekurangan beras 1 hingga 1,5 juta ton. Tak banyak tanah yang baik ditanami, dan kondisi alam hanya bisa sekali panen. "Mereka sangat kelaparan. Selama ini, yang mencukupkan mereka makan adalah bantuan internasional, terutama dari China dan Korsel," ujar Andreza.
Obat-obatan juga langka. Andreza pernah punya pengalaman dapat obat kadaluarsa, yang mungkin dari stok lama bantuan internasional. "Mereka tak punya peralatan teknologi tinggi memadai. Stetoskop aja masih terbuat dari kayu,” Andreza mengisahkan.
Terisolir dari perdagangan internasional, pasokan kebutuhan pokok dari luar negeri ke Korut pun terbatas. Bila ada barang masuk, rata-rata dijual pakai sistem cash and carry. Barang yang sudah masuk ke Korut akan dijual habis, tanpa mengenal kadaluarsa.
"Khususnya makanan dan minuman. Kami harus berhati-hati terhadap barang-barang kadaluarsa. Itu pemandangan umum di pertokoan," kata Andreza. Di tengah keterbatasan itu, Andreza hormat atas sikap pemerintah Korut yang berupaya membantu orang asing. "Kita disediakan tim dokter khusus. Mungkin karena kami dari misi diplomatik, tapi juga mereka menghormati Indonesia sejak zaman Bung Karno, yang bersahabat dekat pemimpin pertama Korut yang sangat mereka hormati, Kim Il Sung," kata Andreza.
Tapi diplomat asing tak gampang berbicara dengan warga Korut. Kalau tanpa otorisasi dari pemerintah, jangan harap bisa bergaul dengan warga. Apalagi meminta keterangan mereka. "Selama dua tahun di Pyongyang, tak sekali pun kami dapat mengunjungi rumah warga asli. Akses sangat dibatasi," kata Andreza yang di kedutaan bekerja di bidang sosial dan budaya.
Pemerintah Korut hanya mengizinkan orang asing berkunjung ke simbol kebesaran negara. Meskipun di pedalaman, lokasinya sudah disterilkan. "Sama sekali tidak mewakili realitas masyarakat mereka," dia melanjutkan.
Di negeri penuh pengawasan ketat itu, kata Andreza, Korut membuat orang asing di sana seperti "boneka di lemari kaca". Artinya, warga asing itu bisa melihat, tapi tak tahu apa yang terjadi di luar kaca. "Di lemari itu, kita bebas melakukan apa saja. Tapi tak berpengaruh kepada lingkungan di luar kaca," ujar Andreza.
Warga Korut juga tertutup terhadap orang asing. Meski sudah akrab di satu tempat, belum tentu ramah jika berjumpa di lokasi lainnya. "Mereka akan cuek atau pura-pura tak tahu bila kita bertemu pada lokasi bukan tempat mereka bekerja," kata Andreza.
Memang ada resto dan karaoke bagi orang asing. Tapi itu sepertinya juga kendali pemerintah lokal memantau orang asing. Andreza, misalnya, pernah mengujungi taman, atau kebun binatang. Tapi kondisinya menyedihkan.
Yang paling kuat terasa di Korut adalah kepatuhan absolut pada pemimpin. Mungkin karena agama dilarang, maka panutan nilai kehidupan adalah apa yang diajarkan pemimpin mereka. "Semua nilai kebenaran mengacu pada ajaran Kim Il Sung, Bapak Rakyat Korea Utara,” ujar Andreza.(np)
|