Site menu |
Section categories | |||||||||||
| |||||||||||
DETIK |
Statistics |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
Login form |
KOMENTAR |
|
OLAHRAGA |
PENGUNJUNG |
Calendar | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
| |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
BERITA TERKINI |
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah matahari terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya
matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka
pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender)
baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan
mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat berumur 29 atau 30 hari.
Hisab
'Hisab secara harfiah 'perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi)
untuk memperkirakan posisi matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi
matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam
menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan
untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan
baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan
awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah).
Dalam Al-Qur'an surat Yunus
(10) ayat 5 dikatakan bahwa Tuhan memang sengaja menjadikan matahari
dan bulan sebagai alat menghitung tahun dan perhitungan lainnya. Juga
dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 disebutkan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan.
Karena ibadah-ibadah dalam Islam terkait langsung dengan posisi
benda-benda langit (khususnya matahari dan bulan) maka sejak awal
peradaban Islam menaruh perhatian besar terhadap astronomi. Astronom
muslim ternama yang telah mengembangkan metode hisab modern adalah Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al Khawarizmi, Al Batani, dan Habash.
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software)
yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat
dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak
terjadi, yaitu saat matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi
sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris
terjadi pada saat matahari dan bulan
berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak
terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
[sunting] Rukyat
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit
yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat
dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari
pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di
ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari).
Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah
memasuki tanggal 1.
Namun demikian, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang
waktu antara ijtimak dengan terbenamnya matahari terlalu pendek, maka
secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya
Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit"
sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat
terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. [1]
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut
Kriteria Penentuan Awal Bulan Kalender Hijriyah
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan,
adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara
langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan
cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa
harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar
yang kuat.
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila
hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan
(kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
- Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal)".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama
(NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan
mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap
digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu
masuknya awal bulan Hijriyah.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah
terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis
dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk
tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah
tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode
Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau
memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul
Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus
bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan
adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al
An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS.
Yasin: 36-40.
] Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
- Pada saat matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
- Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan
terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk
menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan
kondisi.
- Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat
dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan
hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat
dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan
mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk
malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal
tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal
sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika
rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab
sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat
hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga
malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan
hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang
dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan
ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.Hal ini terjadi pada
penetapan 1 Syawal 1432 H / 2011 M.
Di Indonesia,
secara tradisi pada petang hari pertama sejak terjadinya ijtimak (yakni
setiap tanggal 29 pada bulan berjalan), Pemerintah Republik Indonesia
melalui Badan Hisab Rukyat (BHR) melakukan kegiatan rukyat (pengamatan
visibilitas hilal), dan dilanjutkan dengan Sidang Itsbat, yang
memutuskan apakah pada malam tersebut telah memasuki bulan (kalender)
baru, atau menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Prinsip
Imkanur-Rukyat digunakan antara lain oleh Persis
Di samping metode Imkanur Rukyat di atas, juga terdapat kriteria
lainnya yang serupa, dengan besaran sudut/angka minimum yang berbeda.
] Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender)
Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat
hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah
memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum
melihatnya.
Perbedaan Kriteria
Metode penentuan kriteria penentuan awal Bulan Kalender Hijriyah yang
berbeda seringkali menyebabkan perbedaan penentuan awal bulan, yang
berakibat adanya perbedaan hari melaksanakan ibadah seperti puasa
Ramadhan atau Hari Raya Idul Fitri.
Di Indonesia, perbedaan tersebut pernah terjadi beberapa kali. Pada tahun 1992 (1412 H), ada yang berhari raya Jumat (3 April) mengikuti Arab Saudi, yang Sabtu (4 April) sesuai hasil rukyat NU, dan ada pula yang Minggu (5 April) mendasarkan pada Imkanur Rukyat. Penetapan awal Syawal juga pernah mengalami perbedaan pendapat pada tahun 1993 dan 1994.Pada
tahun 2011 juga terjadi perbedaan yang menarik. Dalam kalender resmi
Indonesia sudah tercetak bahwa awal Syawal adalah 30 Agustus 2011.
Tetapi sidang isbat memutuskan awal Syawal berubah menjadi 31 Agustus
2011. Sementara itu, Muhammadiyah tetap pada pendirian semula awal
Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011. Namun demikian, Pemerintah Indonesia
mengkampanyekan bahwa perbedaan tersebut hendaknya tidak dijadikan
persoalan, tergantung pada keyakinan dan kemantapan masing-masing, serta
mengedepankan toleransi terhadap suatu perbedaan.