Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 16 Guests: 16 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2011 » October » 7 » Reshuffle di Persimpangan Jalan Jum'at, 7 Oktober 2011 - 07:45 wib
9:09:30 AM Reshuffle di Persimpangan Jalan Jum'at, 7 Oktober 2011 - 07:45 wib |
Usia Kabinet Indonesia Bersatu jilid II sudah lebih dari seratus hari. Dari Istana Presiden di Cipanas, sang nakhoda memaklumatkan keberhasilan pemerintahannya. Menurut dia, hingga seratus hari kerja -sejatinya seratus hari plus lima tahun- (program pemerintahan) telah mencapai target (sukses) 99 persen. Tentu klaim ini bisa diperdebatkan karena sejumlah pihak memiliki indikator berbeda untuk menilai. Nah, jika program seratus hari dinyatakan 99 persen sukses, mengapa pula ada usul agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merombak kabinet?
Inilah anomali dalam jagat politik Indonesia. Konklusi bisa ditarik tanpa menimbang premis minor dan mayornya: pemerintahan disusun oleh parpol yang menyetor kadernya untuk duduk di kabinet. Mereka disebut kawan kongsi Partai Demokrat yang bersama-sama menyokong pemerintahan SBY-Boediono. Setelah (pemerintahan) berjalan seratus hari dan diklaim sukses, kabinet malah hendak dirombak.
Tapi, jangan berhenti pada logika umum untuk memahami politik di negeri yang lepas dari otoritarianisme 12 tahun lalu ini. Masuklah ke dalam sengkarut ikatan politik yang melatarbelakangi pembentukan kabinet. Di sini, rasanya, politik dan subjek politik (baca: aktor dan parpol) berada di persimpangan jalan.
Usul reshuffle berasal dari petinggi Partai Demokrat terkait dengan dinamika yang berkembang di Panitia Khusus Angket Bank Century. Demokrat gerah terhadap parpol kawan kongsi, khususnya Partai Golkar, PKS, dan PPP. Sebab, ketiga parpol itu bakal menentukan rekomendasi Pansus Century nanti. Apabila kawan koalisi kompak, seluruh kebijakan KSSK dan BI pada masa lalu seperti merger, pemberian fasilitas jangka pendek, penetapan Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, hingga pengucuran dana talangan (bailout) kepada bank yang pernah dimiliki Robert Tantular cs itu dianggap tak bermasalah.
Sebaliknya, jika Golkar, PKS, dan PPP bergabung dengan tiga parpol oposisi -PDIP, Hanura, dan Gerindra- kesimpulan terkait dengan kebijakan yang antara lain diputuskan Boediono dan Sri Mulyani Indrawati tersebut akan menguak tabir skandal Bank Century. Ini yang ditunggu-tunggu publik, yang notabene adalah konstituen parpol pemilik kursi di parlemen.
Kredibilitas Pansus Century dan parpol akan sangat ditentukan oleh kesimpulan akhir panitia yang dibentuk pada Desember 2009 itu. Tentu kesimpulan akhirnya harus berdasar fakta dan data yang diperoleh selama proses penyelidikan. Bukan sejenis apriori yang beralas kepentingan semata. Kita mengingatkan anggota Pansus Century untuk berangkat dari temuan BPK yang menyatakan ada sejumlah pelanggaran dan keganjilan dalam fase-fase menuju bailout Century. Temuan BPK itulah soko guru-nya, dan bukannya politisasi yang menyertai kerja pansus yang akan berakhir Maret nanti.
Gertakan politik
Reshuffle dalam jalinan politik merupakan pedang bermata dua: ia jadi semacam gertakan -kalau bukan ancaman- kepada parpol untuk mengerem anggotanya di Pansus Century. Ancaman tersebut biasanya berujung pada pemecatan kader parpol dari kabinet.
Kedua, reshuffle bisa dibaca sebagai uluran tangan kepada parpol semacam Golkar, PKS, dan PPP untuk menambah kursi di kabinet. Sebentuk tawaran untuk mengubah haluan atau kritisisme kadernya di parlemen. Isu reshuffle yang dikaitkan dengan perilaku kawan koalisi di parlemen itu pernah juga terjadi pada masa Abdurrahman Wahid atau Megawati Soekarnoputri. Sebuah risiko yang secara otomatis melekat kepada parpol dan kadernya yang duduk di kabinet.
Yang harus dicamkan, Demokrat di satu sisi dan Golkar-PKS di sisi lain punya optik berbeda soal koalisi. Demokrat sejak awal selalu mengumandangkan bahwa koalisi terjadi antara mereka dan parpol lain dalam mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan Golkar dan PKS menyebut tak terikat koalisi dengan Demokrat, melainkan dengan Presiden SBY. Ini menegasikan Demokrat. Tak heran jika petinggi Golkar dan PKS, dalam kasus Bank Century, menyatakan bahwa keduanya terikat kepada ”koalisi kebenaran”. Maksudnya, anggota kedua parpol di Pansus Century itu diminta mengungkap skandal tersebut tanpa memikirkan koalisi parpolnya dengan Presiden SBY.
Menengok kesimpulan sementara fraksi-fraksi di DPR, kita menangkap sinyal koalisi yang dibangun Presiden SBY tidak efektif. Hanya satu parpol, yakni PKB, yang sebangun dengan Demokrat. Selebihnya, tujuh fraksi lain -dengan bahasa masing-masing mendapati ada keganjilan, pelanggaran, dan indikasi tindak pidana korupsi pada tiga tahap skandal Bank Century. Kawan kongsi semacam Golkar, PKS, PPP, dan PAN memiliki kesamaan pandangan dengan tiga parpol di kubu oposisi; PDIP, Gerindra, dan Hanura.
Tampak rapuh
Koalisi yang dibangun SBY sebetulnya rapuh karena tidak diikat platform dan ideologi yang sama. Sebaliknya, koalisi berfondasi pada pembagian kursi di kabinet, semacam power sharing. Siapa yang bersedia mendukung SBY-Boediono memperoleh kursi kabinet sesuai dengan proporsi suara dan kursi parpol di parlemen. Kira-kira begini logika yang dibangun: Semakin banyak parpol pemilik kursi di DPR bergabung dalam koalisi, maka pemerintahan bakal kian kuat. Dengan demikian, basis dukungan di parlemen akan kukuh dan pemerintah bisa menyusun kebijakan dengan mulus. Itu berarti pemerintahan akan efektif dan mampu mencapai target-target untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Premis itu disusun dari kesadaran bahwa sistem kepartaian yang dianut negeri ini adalah multipartai. Artinya, presiden terpilih sebisa-bisanya harus menggeser orientasi parpol menjadi eksponen (pendukung) pemerintahan. Ia berkepentingan mengurangi kekuatan oposisi, setidaknya menjadi minimalis. Dengan bergabungnya Golkar ke koalisi pendukung SBY-Boediono, 75 persen lebih suara parpol di tangan pemerintah yang berkuasa. Harapannya, kebijakan-kebijakan pemerintah bakal selalu dapat lampu hijau dari parlemen. Tapi, harapan itu barangkali akan mengempis jika pada 4 Maret lalu Pansus Century menetapkan kesimpulan akhir seperti konfigurasi sikap fraksi-fraksi saat ini.
Begitu pula, kita bisa memetik pelajaran dari dinamika politik saat ini. Sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia mengharuskan rampingnya parpol. Karena itu, instrumen penyederhanaan parpol lewat mekanisme electoral threshold dan parliamentary threshold harus senantiasa ditingkatkan. Lewat Pemilu 2009, hanya sembilan parpol yang lolos ke parlemen. Dengan perangkat parliamentary threshold, diharapkan jumlah parpol di parlemen hasil Pemilu 2014 nanti berkurang sehingga tinggal lima saja. Jika tidak, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat akan selalu tersandung di parlemen (Jawa Pos, 11 Februari 2010).
M Nafiul Haris Peneliti di el-Wahid Center, Fakultas Ilmu Sosial-Politik, Universitas Wahid Hasyim Semarang
|
Category: SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN |
Views: 921 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|