Menteri-menteri ekonomi. Foto: Tangguh Putra/okezone
Rakyat akan sangat bersyukur jika formasi menteri pasca-reshuffle kabinet bisa meminimalisasi dampak resesi global dan membangun kepastian hukum.
Kalau pun reshuffle kabinet
bertujuan mengakselerasi perubahan, target perubahannya harus jelas dan
mudah dipahami agar seluruh elemen rakyat bisa berpartisipasi dalam
proses perubahan itu.
Ketika menjelaskan tujuan reshuffle Kabinet
Indonesia Bersatu (KIB)-II, Kantor Kepresidenan memublikasikan
penjelasan bahwa Presiden akan me-reshuffle kabinet karena ingin
menerapkan gaya memerintah baru guna mengakselerasi perubahan. Sayang,
apa saja target perubahannya tidak dijelaskan.
Maka, daripada
pusing-pusing memikirkan perubahan sepanjang tiga tahun sisa waktu
pemerintahannya, akan jauh lebih produktif jika pemerintahan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) fokus pada upaya memperkecil atau
meminimalisasi dampak krisis ekonomi global yang mulai menggejala di
zona euro dan Amerika Serikat (AS) saat ini.
Sangat strategis
untuk fokus pada masalah ekonomi karena para ekonom dan analis
memperkirakan ekses resesi kali ini akan jauh lebih dahsyat.
Kalaupun
tetap ingin membuat perubahan signifikan, lakukan apa saja yang perlu
demi terwujudnya kepastian hukum. Sedangkan, fokus masalah ekonomi sudah
menjadi keharusan, mengingat situasi global benar-benar genting. Klaim
mengenai prospek pertumbuhan ekonomi RI yang akan tetap tinggi tak perlu
dibantah.
Namun, demi kemaslahatan sebagian besar rakyat
Indonesia, pemerintahan SBY perlu membuat kalkulasi tentang efek domino
dari krisis ekonomi global yang bersumber di sejumlah negara kaya di
Eropa dan AS.
Kalkulasinya harus detail agar setiap ekses bisa segera dicarikan jalan keluarnya dengan memanfaatkan potensi di dalam negeri.
Jangan
pernah menyederhanakan ancaman krisis ekonomi saat ini. Kita harus
belajar dari pengalaman. Sekadar contoh kasus, kita lihat lagi dampak
ekonomi dari gempa bumi dan tsunami yang nyaris meluluhlantakkan
perekonomian Jepang.
Sedangkan, ancaman krisis ekonomi yang mulai
menggejala di Eropa dan AS bukan karena faktor bencana alam, melainkan
karena faktor salah urus di sektor keuangan negara. Selama puluhan tahun
negara-negara kaya itu menimbun utang untuk membiayai kesejahteraan
rakyat.
Kini, negara-negara kaya itu menghadapi kenyataan gagal
bayar. Itu sebabnya krisis ekonomi kali ini diperkirakan bakal lebih
dahsyat dengan durasi jauh lebih lama karena dieskalasi oleh krisis
politik di sejumlah negara.
Kepanikan Global
Mengapa
pemerintahan Presiden SBY perlu mewaspadai ancaman krisis itu? Sebab,
hingga saat ini hampir 50 persen dari aneka komoditi bahan pangan
kebutuhan dalam negeri, termasuk beras, kedelai, susu dan daging, masih
harus diimpor.
Ketika terjadi panik di pasar internasional akibat
krisis ekonomi global, dimensi persoalan ekspor-impor menjadi tidak
semulus saat ekonomi global kondusif. Apalagi jika panik global nantinya
dilengkapi dengan gejolak nilai tukar mata uang. Beruntung jika gejolak
nilai tukar memperkuat posisi rupiah. Jika sebaliknya, cadangan devisa
negara akan terkuras untuk membiayai impor aneka komoditi bahan pangan.
Dalam
situasi krisis, setiap negara akan memprioritaskan kepentingan dalam
negeri masing-masing. Berarti ada kemungkinan impor komoditi bahan
pangan menjadi tidak mudah, sekalipun kita bersedia membayar lebih
mahal. Rakyat akan gelisah.
Sekadar mengingatkan, ketika krisis
ekonomi 1998 mencapai puncaknya, jumlah warga miskin langsung bertambah.
Produktivitas sektor manufaktur akan turun karena pasokan bahan baku
dan komponen tersendat. Dalam situasi demikian, Sektor industri
terdorong melakukan rasionalisasi. Berarti, ada potensi bertambahnya
pengangguran.
Industri berorientasi ekspor, seperti tekstil dan
produk tekstil (TPT), pun rasanya sulit untuk bisa lolos dari dampak
krisis. Sebab, permintaan yang menurun dari wilayah krisis otomatis
berpengaruh terhadap rencana dan jadwal produksi keseluruhan.
Dampak
krisis ekonomi global sering unpredictable karena banyak aspek
perubahan berada di luar jangkauan kita. Namun, dalam konteks Indonesia,
aspek yang paling mencemaskan dari krisis ekonomi global adalah
pengaruhnya terhadap ketahanan pangan nasional.
Karena itu,
sangat penting bagi pemerintahan Presiden SBY mewaspadai efek domino
dari ancaman krisis ekonomi sekarang ini. Karena Presiden ingin
me-reshuffle KIB-II, rakyat tentu berharap Presiden membentuk tim
ekonomi yang cerdas, tangguh dan kompak agar bisa merespons dengan tepat
dampak dari ancaman krisis ekonomi global saat ini.
Bagaimanapun,
sekarang dan tahun-tahun mendatang adalah periode yang rawan dan
sensitif bagi pemerintah di banyak negara, termasuk pemerintahan SBY.
Ketidakpuasan terhadap pemerintahan sekarang sudah menjadi persoalan
nyata.
Kepercayaan kepada pemerintah pun semakin rendah akibat
praktik penegakan hukum yang tidak memedulikan rasa keadilan rakyat.
Oleh karena itu, reshuffle kabinet yang sedang dirancang Presiden SBY
bersama Wakil Presiden Boediono hendaknya berorientasi pada tantangan
bangsa terkini, yakni efek domino resesi global dan urgensi mengamankan
stok pangan nasional. Ingat bahwa ketidakpastian ekonomi global saat ini
akan berdurasi lebih lama dan akan melahirkan ekses yang sangat
beragam.
Bisa jadi, perkembangan faktor eksternal hingga 2014
memaksa pemerintahan SBY terus berupaya meminimalisasi dampak krisis.
Kalau pemerintahan SBY mampu meminimalisasi dampak krisis, rakyat akan
mensyukuri keberhasilan itu.
Ukurannya sederhana saja: jika stok
bahan pangan tersedia dalam jumlah cukup dengan harga terjangkau maka
stabilitas keamanan dan ketertiban umum akan mudah dijaga. Persoalannya
menjadi lain jika stok bahan pangan terganggu dan terjadi lonjakan
harga.
BAMBANG SOESATYO
Anggota DPR RI Fraksi Partai Golkar, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia (Koran SI/Koran SI/ade)