JAKARTA - Anggota Badan
Anggaran (Banggar) DPR dinilai rentan terlibat korupsi. Pasalnya,
kewenangan Banggar yang begitu luas tidak ada yang mengkontrol. Selain
itu, rapat-rapat Banggar yang membahas anggaran untuk rakyat cenderung
tertutup.
"Arahnya ke sana bahwa Banggar DPR rentan korupsi,"
ujar Roy Salam, peneliti Indonesia Budget Center (IBC), usai jumpa pers
di sekretariat Indonesia Corruption Watch (ICW), Kalibata, Jakarta
Selatan, Minggu (21/8/2011).
Hal tersebut diungkapkan Roy
menyikapi maraknya mafia anggaran yang ditengarai melibatkan DPR.
Menurut Roy, Banggar memiliki kewenangan luas terkait masalah anggaran.
Mirisnya, tidak ada lembaga yang dapat mengontrol Banggar.
Kemudian,
rapat-rapat di Banggar cenderung tertutup. Sehingga, publik tidak dapat
mengaksesnya. Hal itulah, kata Roy, yang membuat Banggar rentan korupsi
dengan menjadi mafia anggaran.
Berdasarkan data IBC, terdapat 63
anggota DPR periode 1999--2014 terlibat berbagai modus korupsi.
Sebanyak 52 persen di antaranya merupakan kasus korupsi mengenai
kebijakan anggaran dan pemalsuan administrasi. Sisanya adalah kasus
korupsi penyelewengan jabatan dalam pemilihan pejabat negara. "Dari 52
persen itu yang paling banyak pelakunya anggota DPR dan Banggar," jelas
dia.
Untuk mengatasinya, Roy mengusulkan dua opsi. Pertama, dia
mendesak rapat-rapat di DPR mesti terbuka. Dengan demikian, publik dapat
mengetahui setiap proses pengambilan kebijakan.
Kedua, DPR mesti
memberikan akses terhadap publik untuk memperoleh dokumen yang membahas
anggaran. Sebab, dokumen tersebut merupakan informasi publik.
"Bagaimana membuat suatu kebijakan dengan konsultasi kepada publik.
Medianya macam-macam, bisa dengan jejak pendapat," ungkap Roy.
Pendapat
senada dilontarkan Abdullah Dahlan, Peneliti Divisi Korupsi Politik
ICW. "Ruang-ruang yang mereka (DPR) gunakan sering tertutup dan diluar
domain DPR. Sehingga, publik dan media tidak dapat mengontrolnya," tukas
Abdullah.
Dia menyatakan, Banggar mempunyai peran penting untuk
membongkar mafia anggaran. Sebab, segala informasi yang terkait dengan
kebijakan anggaran berada di Banggar. "Contohnya, kasus Nazaruddin
berkorelasi dengan dengan Banggar. Nah, di sinilah peran penting Banggar
untuk membongkar mafia anggaran," sebut dia.
Menurut Abdullah,
modus yang biasa digunakan para mafia anggaran ialah dengan memanfaatkan
kesulitas akes informasi. Aktivis ICW itu menilai kesulitan mengakses
informasi anggaran di Banggar menguntungkan DPR. Kemudian, informasi
tersebut dijual kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Dia
mencontohkan, daerah yang hendak mendapatkan Dana Penyesuaian
Infrastruktur Daerah (DPID) mesti mengeluarkan sejumlah uang untuk
memperoleh informasinya.
"Solusinya rapat prosedur harus ditaati.
Banggar hanya bisa mensikronisasi kemampuan keuangan negara. Tapi yang
terjadi Banggar mengambil keputusan di luar kewenangannya," tandas
Abdullah.
(Hendry Sihalogo/Koran SI/ful)