VIVAnews - Partai Golongan Karya memecat tiga kadernya, Poempida Hidayatullah, Nusron Wahid dan Agus Gumiwang. Ketiganya dianggap membangkang terhadap keputusan partai karena mendukung pasangan calon Presiden-Wakil Presiden, Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Pada Pilpres 2014, Partai Golkar resmi mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Partai pimpinan Aburizal Bakrie ini tergabung dalam koalisi Merah Putih yang dikomandoi Partai Gerindra.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Tantowi Yahya mengatakan keputusan pemecatan ketiga kadernya itu sudah final. Melalui rapat dan proses panjang yang melibatkan seluruh pimpinan partai.
"Partai politik itu dalam menjalankan organisasinya dipayungi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta peraturan organisasi. Jadi setiap kali ada pelanggaran yang dilakukan kader, ya pasti ada sanksinya. Saya yakin dan percaya ketiga sahabat baik saya itu menyadari secara penuh, bahwa akan ada tindakan dari partai terkait aksi yang mereka lakukan," ujar Tantowi saat berbincang dengan VIVAnews, Kamis 26 Juni 2014.
Menurut Tantowi, Ketua Umum Aburizal Bakrie sebetulnya sangat berat memutuskan ini. Aburizal, kata Tantowi, sangat sayang dengan kader-kadernya itu. Terlebih mereka adalah kader potensial yang dimiliki partai.
"Itu adalah keputusan pahit yang harus diambil. Karena ini organisasi, bagi kader itu ada tugas, tanggung jawab, reward dan punishment. Ketika kader itu berprestasi, dia akan mendapat sesuatu. Tapi ketika dia melakukan pelanggaran terhadap kebijakan partai, tentu akan mendapatkan sanksi," tuturnya.
Meski begitu, baik Nusron, Agus, dan Poempida Hidayatulloh tetap memiliki ruang untuk membela diri melalui Mahkamah Partai Politik. Mereka berhak untuk memberikan penjelasan atas sikapnya yang membelot dari keputusan partai.
Sebagaimana diketahui, penyelesaian sengketa partai politik melalui Mahkamah Partai Politik merujuk pada Pasal 32 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Parpol. Ketentuan ini menyatakan perselisihan parpol harus diselesaikan terlebih dahulu secara internal melalui Mahkamah Parpol.
Mahkamah Partai Politik sejatinya bukan bagian dari lembaga yudikatif. Mahkamah ini hanya berwenang 'mengadili' sengketa internal parpol dimana susunan mahkamahnya didaftarkan oleh parpol ke pemerintah.
"Siapa pun yang tidak puas dengan keputusan partai dapat mengajukan ke Mahkamah Partai. Langkah ini yang sesungguhnya harus ditempuh tiga rekan saya itu," ujar Tantowi.
Bela diri
Ketiga kader itu melawan. Mereka menilai pemecatan yang dilakukan pimpinan partai menyalahi prosedur partai. Bersama dua koleganya, Agus mengaku tidak pernah mendapatkan surat peringatan, maupun teguran dalam bentuk apapun dari partai.
Agus yang menjabat sebagai Ketua Bidang Hankam DPP Golkar itu memahami pemecatan mereka karena masalah perbedaan pilihan politik. Dia bersama Poempida dan Nusron mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
"Tidak pernah ada yang disebut peringatan. Yang ditentukan ada rumusan AD/ART, Partai Golkar sama sekali tidak mengindahkan. Tiba-tiba saja tanpa proses yang tepat terjadi pemecatan," ujar Agus.
Sejak awal, Agus dan kedua rekannya tahu benar ada konsekuansi atas pilihannya mendukung Joko Widodo-Kalla. Dia pun siap menghadapi apapun konsekuensinya. Namun pemecatan, kata dia tidak sesuai dengan proses yang benar.
Agus mengaku sudah mengabdi sebagai kader partai berlambang pohon beringin selama 17 tahun. Menurutnya, jika ada sesuatu yang melenceng dilakukan kader, seharusnya partai wajib memberitahukan terlebih dulu.
Sementara itu, Nusron Wahid mengaku tidak mempermasalahkan pemecatan dirinya. Kata Nusron, dukungan terhadap Joko-Kalla adalah aspirasi pribadi dan tidak membawa nama partai.
"Mau dipecat, mau diapakan, saya tidak begitu peduli," kata Nusron, Rabu 25 Juni 2014.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama itu menegaskan tidak mengejar jabatan dalam mendukung Joko-Kalla di pilpres.
Sebagai calon anggota legislatif DPR RI yang mendapat suara terbanyak, kata Nusron, posisi pimpinan DPR sudah pasti di tangan. Sehingga tidak masuk akal jika dikatakan dukungannya ke Joko-Kalla hanya untuk mengejar jabatan.
"Saya ini peraih suara terbanyak di internal Golkar. Pada keputusan Rapim yang lalu menyebutkan, siapa yang mendapatkan suara terbanyak dialah yang akan dinominasikan menjadi pimpinan DPR," kata Nusron. [Baca Setelah Dipecat Golkar, Nusron Cs Dicopot dari DPR]
Anggota Komisi XI DPR itu menganggap ada diskriminasi dalam pemberian sanksi pemecatan itu. Nusron beralasan, dia dan dua koleganya hanya mendukung langkah Jusuf Kalla. Sehingga tidak tepat mereka menjadi korban pemecatan pada gelombang pertama.
"Sebelum saya, pecat Pak JK, Pak Suhardiman, pendiri Golkar. Setelah itu Pak Ginanjar, Pak Fahmi Idris. Setelah itu pecat yang lain-lain," ujarnya. [Baca Nusron Wahid Minta Golkar Pecat Jusuf Kalla]
Poempida Hidayatulloh mengatakan pemecatannya dan dua koleganya itu hanya kepentingan sesaat dari elite Golkar. Sebab, dasar dari sanksi tersebut adalah perbedaan pilihan dalam Pemilihan Presiden 2014.
"Kalau kami berbeda pendapat, kalau kami mempunyai nilai-nilai yang menurut kami lebih benar dari senior-senior itu, apakah kami disia-siakan?" kata Poempida.
Poempida akan mencari jalan keluar untuk menyikapi pemecatannya itu. Misalnya, apabila DPP Golkar mengajak untuk berdialog dia siap untuk memberikan penjelasan. [Baca selengkapnya Poempida Anggap Pemecatannya Kepentingan Sesaat]
Keputusan keliru
Eksponen Trikarya Partai Golkar yang terdiri dari SOKSI, MKGR, dan Kosgoro 57 menolak pemecatan ketiga kader itu.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono mengatakan Trikarya telah mendengarkan penjelasan komprehensif dari ketiga kader yang dipecat itu.
"Terhadap apa yang sudah dikemukakan mereka, eksponen Trikarya tidak menyetujui dan menolak pemberhentian mereka sebagai anggota Golkar," kata Agung Laksono, Rabu 25 Juni 2014.
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat itu menyatakan, pemecatan Agus Gumiwang, Nusron Wahid, dan Poempida tidak sesuai prosedur Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar.
"Partai harus segera rapat lewat Mahkamah Partai. Kami tidak ingin suasana di partai menjadi lemah. Mari kita solid dan kompak," katanya.
Diapresiasi Parpol Lain
Pemecatan kader Partai Golkar yang melawan keputusan partai menjadi pelajaran berharga bagi partai lain. Salah satunya, Partai Amanat Nasional (PAN).
Wakil Sekretaris Jenderal DPP PAN Teguh Juwarno mengatakan langkah Partai Golkar memecat kadernya yang menentang keputusan partai sangat tepat. Menurut Teguh, Partai Golkar telah membangun budaya berorganisasi yang baik.
"PAN tidak perlu malu belajar dari Partai Golkar dalam membangun budaya organisasi dan komitmen pada keputusan partai," kata Teguh, Rabu 25 Juni 2014.
Teguh beralasan, saat ini banyak desakan di internal partai untuk memecat kader yang mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla di Pilpres 2014. "Banyak desakan dari kader ke DPP agar DPP menindak tegas kader yang mbalelo dengan tidak mendukung Ketumnya (Hatta Rajasa) maju menjadi cawapres," ujar Teguh.
"Saya yakin DPP akan segera bersikap tegas dan menindak kader yang tidak taat dengan keputusan organisasi," tegas dia.
Langkah pemecatan terhadap kader mbalelo juga disuarakan internal Partai Demokrat. Ruhut Sitompul mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla di pilpres dengan membawa-bawa nama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. [Baca Dukung Joko Widodo, Ruhut Kantongi Restu SBY]
Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Max Sopacua menilai Ruhut layak dipecat sebagai kader Demokrat.
"Ya saya kira kalau caranya seperti itu sudah tidak bisa dipertahankan. Karena begini saya takut dia lama-lama lupa wajahnya SBY dan yang diingat wajah Joko Widodo melulu," ujar Max, Kamis 26 Juni 2014.
Meski demikian, anggota Komisi I DPR itu maklum dengan tabiat Ruhut yang kini memilih berseberangan dari kebijakan partai. Diketahui, kebijakan Partai Demokrat adalah tidak mendukung salah satu pasang calon. Namun membebaskan kader untuk memilih salah satu calon. [Baca Hasil Rapimnas, Partai Demokrat Pilih Netral]
Menurut Max, Ruhut pernah melakukan hal serupa di masa lalu. Di tahun 2004, Max bercerita, Ruhut hijrah dari Partai Golkar dan masuk menjadi kader Demokrat. Pada waktu itu, SBY maju sebagai calon presiden.
"Akhirnya loncat dia dari Golkar karena mau nempel SBY di Demokrat karena mau jadi presiden. Kejadiannya sama dengan sekarang. Ketika SBY mau lengser, Ruhut loncat ke Joko Widodo," ujar Max di Gedung DPR, Jakarta, Kamis 26 Juni 2014.
Dengan kejadian ini, Max justru mempertanyakan pernyataan Ruhut yang mengatakan kader Demokrat yang mendukung Prabowo-Hatta adalah mereka yang gagal duduk kembali di anggota DPR dan mengincar kursi menteri.
"Saya berpikir teman saya ini kok jadi begini? Kalau saya mau bongkar, saya bongkar," kata dia.
Sementara ini, sanksi dari partai hanya menggeser Ruhut Sitompul dari Komisi III Bidang Hukum DPR. Ruhut kini ditaruh di Komisi VI Bidang Perdagangan. Dia dirotasi karena dianggap mencemarkan nama baik Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. [Baca Demokrat Depak Ruhut Sitompul dari Komisi III DPR]