Main
 
BUDI SANTOSOFriday, 29.03.2024, 7:37:09 AM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
BERITA SERBA SERBI
BERITA UMUM
BERITA UNIK,LUCU DAN ANEH
BERITA YANG UNIK DAN YANG ANEH
EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI DAN BISNIS
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
BERITA SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
MP3
Kumpulan MP3
SENI DAN BUDAYA
SENI DAN BUDAYA
GAME
KATA - KATA MUTIARA
FILM
PUISI DAN PANTUN

DETIK

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » 2011 » December » 5 » Muhammad Bagus Irawan Pemuda, Korupsi, dan Pemiskinan Indonesia
11:21:23 AM
Muhammad Bagus Irawan Pemuda, Korupsi, dan Pemiskinan Indonesia










Indonesia kini bagaimanapun telah berwajah buram. Darinya,
seolah membuyarkan i’tikad ‘Indonesia satu’ yang diprakarsai para
pejuang pada Sumpah Pemuda 82 tahun silam. Persoalannya, sampai saat
ini, bagaimana peran pemuda membangun negeri ini? kenapa Indonesia
menjadi negara korup? Juga mengapa Indonesia terjerambab ke dalam lubang
kemiskinan? Dan kenapa keadilan sosial bagi seluruh bangsa tak
tercapai? Siapa yang salah? Pertanyaan amsal itulah yang kiranya ada
dalam benak bangsa yang peduli.
 
Secara runut, saya akan menggali
korelasi dan manifestasi antarpemuda, korupsi, dan pemiskinan
Indonesia. Sebenarnya, Indonesia memiliki prestasi pemuda Indonesia di
kancah internasional bisa menjadi contoh nyata dari istilah kebangkitan
itu. Prestasi itu sungguh memukau baik di olimpiade sains, kompetisi
olahraga, maupun riset. Prestasi ini dapat membongkar stigma negatif
yang selama ini terlanjur melekat bagi Indonsia. Kenyataan ini
menandakan bahwa sebenarnya kaum muda Indonesia memiliki kualitas luar
biasa bahkan mengungguli negara-negara barat. Beberapa prestasi ini
menjadi alasan bagi banyak orang yang beranggapan bahwa Indonesia bisa
jaya oleh pemuda. Bahkan seperti sudah menjadi keperacayaan bagi banyak
orang bahwa sebenarnya bangsa Indonesia ini bisa maju jika dipimpin oleh
kaum muda.

Namun prestasi internasional itu tidak sebanding
dengan prestasi dalam negeri sendiri. Di negeri ini kaum muda masih
diabaikan. Ongkos politik dan sosial untuk menjadi seorang pemimpin di
Negara ini sunguh luar biasa besar, modal inilah yang belum dimiliki
kaum muda Indonesia. Meski ada semangat yang berkobar dan patriotisme
tinggi tapi masih belum mampu memuluskan jalan menjadi pemimpin.
Lagipula budaya timur itu sangatlah susah diubah, masyarakat Indonesia
masih sangat tidak percaya bila dipimpin oleh orang muda. Bilapun ada
contoh kaum muda menjadi pemimpin di negeri ini bukanlah murni karena
kompetensi yang dimilikinya tetapi karena faktor lain seperti ketampanan
fisik, ketenaran, dan kekayaan. Keran kepemimpinan itu harus dibuka
bagi kaum muda.

Di Indonesia, jumlah pelaku wirausaha saat ini
masih relatif minim. Dari populasi yang mencapai sekira 240 juta
penduduk, porsi pelaku wirausaha hanya sekira 0,2%, sedangkan jumlah
wirausaha yang ideal untuk menggerakkan perekonomian suatu negara itu
minimal 2% dari total jumlah penduduk. Sementara itu, kemiskinan dan
pengangguran masih menjadi fakta tak terbantahkan yang masih melingkupi
sebagian besar rakyat Indonesia.

Data Biro Pusat Statistik (BPS)
tahun 2009 menunjukkan jumlah pemuda Indonesia yang masih menganggur
mencapai 17 persen dari 70 juta jiwa, atau sekitar 12 juta pemuda.
Sebagian besar dari mereka juga hidup dalam kondisi miskin dan
berpendidikan rendah. Sementara, data yang dirilis Badan Pusat Statistik
(BPS) menunjukkan, hingga Februari 2011, jumlah penganggur di Indonesia
mencapai 8,12 juta dengan tingkat pengangguran terbuka pada Februari
2011 mencapai 6,8 persen dari total angkatan kerja.

Dengan data
di atas, kebutuhan akan tersedianya sejumlah wirausaha baru yang handal,
tangguh serta ungggul menjadi kebutuhan yang perlu disiapkan melalui
perencanaan yang jelas dan langkah-langkah yang konkret serta konsisten
dalam penyelenggaraannya.

Dalam isu kewirausahaan golongan pemuda
perlu memperoleh perhatian khusus. Selain sebagai nafas zaman, kaum
mudalah yang senatiasa menjadi incaran pemasaran sebagai segmen pasar
potensial. Posisi pemuda juga strategis dan khas secara budaya dan
kondisi fisik serta emosional. Para pemudalah juga yang nanti mengalami
persoalan besar sebagai pembayar utang bangsa, menghadapi persaingan
global, serta paradigma kehidupan yang baru.

Secara falsafi
manusia, ‘miskin’ adalah kata dan keadaan akut yang harus dihindari.
Manusia hidup sekali bukan untuk kehidupan miskin, namun untuk kehidupan
yang berkecukupan. Dari sana, lantas ada etos kerja yang timbul untuk
memenuhinya. Begitupun kata ‘korupsi’, ia adalah sifat dan praktik yang
amat dijauhi demi terpenuhinya moral kehidupan manusia. Menjauhi korupsi
berarti menjunjung tinggi moralitas dalam kehidupan bersama. Namun,
keduanya seolah bersinergi bersama dala rentas kehidupan bangsa kita.
Evolusi kehidupan bangsa kita tak jauh bahkan erat dengan dua kata yang
seharusnya dihindarkan, antara miskin dan korupsi. Tak pelak di sini
saya menjabar rumus ‘korupsi=pemiskinan’.

Ditinjau dari sejarah,
laku korup bangsa kita memang telah tercatat semenjak proses kolonisasi
barat masuk ke Nusantara. Bagaimana laku para elite penguasa kala itu
menikmati upeti-upeti tanpa kerja keras dan menerima utang dalam
pelbagai bentuk, dan saat tak mampu membayar satu per satu wilayah
pelabuhan dan daerah strategis dilepas ke tangan kekuasaan asing.
Begitupun, saat terjadi perang suksesi dan sang raja terancam digeser
dari takhta, dia lantas menjanjikan sejumlah konsesi berupa wilayah
kepada VOC demi dukungan penjajah. Nahasnya, sejarah macam ini terus
diulang oleh pelakunya sampai saat ini.

Ia sudah menggejala
walau sejarah juga mencatat perlawanan bangsa terhadap korupsi; dimulai
dari masa Orde Lama yang membentuk UU Nomor 1 Tahun 1961 tentang
pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanan korupsi. Kemudian
dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru yang mengeluarkan Keppres No.
228/1967 tentang pemberantasan korupsi yang dipimpin Jaksa Agung. Hingga
masa kini kita mengenal KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang diberi
otoritas penuh membumihanguskan korupsi di Indonesia.

Nyatanya,
sampai sekarang korupsi sudah menjadi ‘api besar’, berujung pada sindrom
genosida yang amat sulit dipadamkan. Akibatnya, Indonesia dengan segala
kekayaan yang semestinya—diamanatkan Pancasila— untuk menggapai
kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia pun tak tercapai. Nahasnya,
rakyat yang sudah membayar pajak itu, banyak yang miskin, dikotomi dan
ketimpangan sosial terus menggelayut. Mereka terpojok, karena miskin
bukanlah kutukan. Kemiskinan juga bukan disebabkan mereka malas, tak mau
bekerja keras. Sebenarnya masyarakat kita sudah memiliki etos kerja
kuat seperti yang ditunjukkan ‘nenek moyang kita adalah seorang pelaut
yang tangguh’. Secara embrio, kemiskinan lebih bersifat multidimensi.
Bila ditelaah, kemiskinan di negeri ini, lebih disebabkan kerana faktor
struktural yang dibuat manusia, baik struktur ekonomi, sosial, politik,
dan budaya. Mereka yang termisikinkan terkungkung dalam suatu lingkaran,
vicious circle of proverty (Korupsi yang memiskinkan, Penerbit Buku
Kompas 2011).

Hal ini bisa dibuktikan berdasarkan data BPS dan
Menkokesra. Di mana, anggaran untuk pengentasan kemiskinan naik setiap
tahun, bahkan kenaikannya cukup spektakuler. Tahun 2004, anggaran
kemiskinan sekitar Rp 16,7 triliun; tahun 2005, naik menjadi Rp 23
triliun; tahun 2006, naik menjadi Rp 42 triliun, tahun berikutnya (2007)
menjadi Rp 51 triliun; tahun 2008, menjadi Rp 63 triliun; tahun 2009
menjadi Rp 66 triliun, dan tahun 2010 melonjak menjadi Rp 94 triliun.
Namun, lonjakan anggaran ini tak diimbangi dengan penurunan angka
kemiskinan yang dignifikan. Secara statistik, jumlah penduduk miskin
pada kurun waktu yang sama adalah; pada tahun 2004, sekitar 16,7 %; lalu
turun menjadi 16% (2005); naik lagi menjadi 17,8% (2006); kemudian 16,6
% (2007); 15,4% (2008); 14,2% (2009); dan terakhir sekitar 13,3 %
(2010). Persoalan kemiskinan direduksi hanya dengan standard BPS (2010)
yang hanya menghitung angka kecukupan gizi kalori per hari, setara Rp
155.615 per bulan per orang, jauh lebih rendah dari standar kemiskinan
absolut yang dibuat lembaga internasional yang rataanya adalah satu
dolar per kapita per hari. Karena ekses gejala korupsi masif dan
pembusukan sekelilingnya, maka tak bisa dihindarkan pula, bila anggaran
pengentasan kemiskinan pun menjadi lahan basah para koruptor.

Muhammad Bagus Irawan
Peneliti Idea Studies IAIN Walisongo Semarang

Category: BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL | Views: 782 | Added by: budi | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

Calendar
«  December 2011  »
SuMoTuWeThFrSa
    123
45678910
11121314151617
18192021222324
25262728293031

Entries archive

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024