MENGENAL KALENDER HIJRIYAH
Abdur Rahman Mesjid Ukhuwah Islamiyah Universitas Indonesia abd.rahman@ui.edu
Tahun Hijriyah telah berusia 1428 tahun menurut kalender bulan atau 1376 tahun lebih menurut kalender matahari. Kalender Hijriyah sebagai sistem penanggalan Islam tidak ditetapkan oleh Rasulullah saw ketika beliau masih hidup melainkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Tanggal 1 Muharram pun bukan hari pertama Rasulullah saw hijrah karena beliau meninggalkan Mekah menuju Madinah hari pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 0 (nol) Hijriyah bertepatan dengan 5 Oktober 621 M. Maka, 1 Muharram 1 H bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622 M (Djamaluddin 2007).
Jauh sebelum Islam datang, di masyarakat semenjanjung Arabia telah menggunakan kalender lunisolar, yaitu sistem penanggalan campuran bulan dengan matahari. Satu tahun terdiri dari 12 bulan dan jumlah hari dalam sebulan berselang-seling 29 dan 30. Nama-nama bulan dalam kalender ini, yang merujuk pada pergantian musim, sama dengan nama-nama bulan Hijriyah yang digunakan dalam kalender Islam. Dalam masa itu, berziarah ke Mekah untuk berhaji telah menjadi peristiwa penting dalam kalender dan dipercaya telah dimulai sejak Ka’bah dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Ritual ini juga disertai dengan aktivitas perdagangan berbagai komoditas karena pada musim haji Mekah menjadi tempat yang paling ramai.
Masyarakat semenjanjung Arabia merasakan kesulitan jika menggunakan kalender yang didasarkan murni pada peredaran bulan. Ketika ritual haji usai, timbul masalah dalam menggarap ladang dan menggembalakan ternak (untuk dijual dan dikorbankan pada bulan haji berikutnya) karena tidak sesuai musim. Supaya selalu sesuai dengan musim, dimasukanlah bulan tambahan yang disebut naasi’ sebagai bulan ke-13. Bulan interkalasi ini selalu ditambahkna setelah Zulhijjah (bulan haji) untuk 7 tahun setiap 19 tahun. Jadilah bulan Zulhijjah selalu terjadi pada bulan Agustus sehingga waktu untuk menggarap lahan dan menggembalakan ternak menjadi tepat musim. Qalmas, seorang penduduk Mekah, adalah orang yang ditugaskan untuk membuat dan mengumumkan interkalasi pada setiap akhir musim haji (Ilyas 1994).
Ternyata sistem interkalasi ini juga menimbulkan masalah baru bagi mereka karena sering disalahgunakan. Suatu suku secara sepihak bisa menyatakan perang kepada suku lain dengan alasan bulan Muharram (yang disepakati sebagai bulan suci untuk tidak berperang), telah berakhir. Padahal menurut suku lawannya bulan Muharram belum berakhir. Hingga 10 tahun setelah hijrah, ummat Islam masih menggunakan kalender lunisolar interkalakasi ini, sampai akhirnya turun ayat yang menegaskan bahwa satu tahun itu berjumlah 12 bulan (QS 9:36). Dengan ayat ini Rasulullah saw memerintahkan untuk mengganti kalender lunisolar dengan kalender lunar. Perintah ini disertai dengan ’Petunjuk Teknis’ bahwa awal bulan ditentukan dengan melihat hilal, jumlah hari dalam satu bulan adalah 29 atau 30 dan jika langit mendung sehingga hilal tidak bisa dilihat, lama bulan digenapkan menjadi 30 hari. Atas perintah Rasulullah saw itu, kalender Islam
1
ditentukan murni berdasarkan waktu rata-rata peredaran bulan mengelilingi matahari sehingga disebut juga kalender qamariah. Satu bulan sama dengan satu putaran bulan (disebut lunasi, lunation) mengitari matahari selama 29,5306 hari dan satu tahun sama dengan 12 kali lunasi. Menurut perhitungan, sampai dengan akhir Zulhijjah 1428 H kalender Hijriyah telah mengalami 17136 lunasi selama 506036 hari bumi.
Sistem penanggalan Hijriyah berbeda dengan kalender Julius Caesar yang diresmikan tahun 46 sM yang kemudian diadopsi oleh gereja Katolik sebagai kalender Masehi. Kalender Julius didasarkan pada periode rata-rata matahari melewati titik vernal equinox sebagai titik referensi untuk menyatakan satu kali putaran bumi mengitari matahari. Menurut perhitungan, bumi membutuhkan waktu 365 hari 5 jam 48 menit dan 49 detik atau 365,2424 hari untuk menyelesaikan putarannya mengelilingi matahari. Jumlah hari dalam satu bulan ditentukan dengan membagi jumlah hari dalam setahun dengan 12. Jadi, jumlah hari dalam sebulan dalam kalender Julius bukanlah waktu bulan yang sebenarnya (natural) melainkan waktu bulan artifisial. Penggunaan bulan artifisial ini menyebabkan akumulasi selisih waktu sehingga lambat laun tanggal dalam kalender semakin tidak sesuai dengan pergantian musim. Puncaknya, pada tanggal 4 Oktober 1852 Paus Gregorius XIII mereformasi kalender Julius dengan menghilangkan 10 tanggal ke depan sehingga esok harinya langsung menjadi tanggal 15 Oktober 1852 dengan tetap melanjutkan urutan hari (hari 5 Oktober = hari 15 Oktober). Setelah itu kalender Julius/Gregorius menerapkan interkalalasi satu hari pada setiap bulan Februari yang bilangan tahunnya habis dibagi 4. Jika koreksi (penyesuaian) tidak dilakukan, sampai tahun 2000 akan terakumulasi selisih 15,6 hari yang berarti ada 15,6 hari yang lewat tanpa sunrise.
Perbedaan lainnya, kalender Julius/Gregorius dimulai tahun 1 M, bukan tahun nol M, sedangkan kalender Hijriyah dimulai tahun nol H. Kosep angka nol memang berasal dari ilmuwan Muslim, walaupun baru terdefinisikan dengan konkrit pada masa al-Khawarizmi (780-850). Kalender Julius/Gregorius yang dimulai tahun 1 M telah menimbulkan ketidakpastian dan kebingungan di kalangan masyarakat, apakah milenium ke tiga dimulai 1 Januari 2000 atau 1 Januari 2001 (Djamaluddin 2007). Demikian juga dengan pergantian abad, apakah abad 21 berakhir 31 Desember 2099 atau 31 Desember 2100.
Kriteria Awal Bulan
Penggunaan waktu lunasi sebagai asas penetapan kalender Hijriyah didasarkan pada al- Qur’an surat al-Baqarah 189, bahwa bulan-bulan sabit (ahillah, jamak hilal) merupakan tanda-tanda waktu dan ibadah haji bagi manusia. Pernyataan ayat ini dipertegas dengan ayat perintah berpuasa: fa man syahida minkum as-syahra, falyasumhu (barang siapa di antara kamu telah menyaksikan bulan, hendaklah ia berpusa) (Qs 2: 185). Kata syahr di sini berarti calendar month, bulan dalam pengertian kalender, bukan moon (Djamaluddin 2007a) karena sebagai benda langit bulan disebut qamar. Dalam ayat ini digunakan kata syahida, menyaksikan dengan keyakinan, bukan ra-a yang berarti melihat dengan mata. Bagaimana menyaksikan kedatangan awal bulan dijelaskan dalam beberapa hadist, misalnya: Allah telah menjadikan hilal sebagai (tanda) waktu bagi manusia, maka
2
berpuasalah dengan melihatnya dan berbukalah dengan melihatnya (HR Imam Ahmad, ad-Daruqutni dan al-Hakim).
Jadi, tanda awal bulan itu adalah hilal yang bisa dilihat setelah matahari terbenam, yang imkanur-ru’yah (yang mungkin bisa diru’yat) yang disebut juga expected lunar crescent visibility. Inilah kriteria umum awal bulan yang diterima secara luas oleh masyarakat astronomi dunia Islam. Walaupun begitu, ada juga kalangan yang tidak menggunakan visibilitas hilal melainkan hanya dengan wujudul hilal berdasarkan posisi ijtima’ (konjungsi, ketika matahari, bulan dan bumi berada dalam satu bidang setelah bulan menyelesaikan lunasinya) pada saat matahari terbenam. Jika di suatu tempat ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam maka dianggap bulan baru telah lahir yang berarti esok hari adalah tanggal 1 bulan baru, tidak peduli apakah visibel atau tidak. Kriteria- kriteria awal bulan inilah yang kerap kali menimbulkan perbedaan dalam menetapkan awal bulan Hijriyah.
Sejak zaman Babilonia (sekitar 2000 sM) sampai saat ini telah terkumpul lebih dari 12 kriteria visibiltas hilal berdasarkan sejumlah data observasi dalam berbagai kondisi bulan. Kriteria Babilonia menetapkan bahwa hilal hanya bisa dilihat oleh mata telanjang bila telah berumur 24 jam atau lebih sejak ijtima’ atau bila perbedaan waktu sunset dan moonset (lag time) lebih dari 48 menit. Kriteria tertua ini kemudian disempurnakan oleh para astronom Muslim. Ibn Tariq (sekitar 767 M) misalnya, menetapkan kriteria berdasarkan altitude (tinggi hilal) dan lag time, sedangkan Muhammad Ilyas (1997) menyempurnakannya lebih lanjut dengan altitude relatif dan jarak hilal dengan matahari. Schaefer (1996) menyertakan kondisi atmosfir yang kemudian dikoreksi dan disempurnakan oleh Yallop (1997). Kriteria terbaru dikembangkan oleh Muhammad Syaukat Odeh (2004) yang mempimpin Islamic Crescents Observation Project (ICOP). Kriteria Odeh ini disebut-sebut paling optimistik karena menyertakan lebih banyak variabel visibilitas seperti luas permukaan hilal sebagai parameter kecerahan dan efek kondisi atmosfir. Berdasarkan kriteria Odeh ini, yang dibuat berdasarkan 737 data obervasi hilal dari tahun 1859 s/d 2000 dan dengan menggabungkan kriteria-kriteria lainnya, visibilitas hilal dalam kondisi atmosfir ufuk yang mendukung di suatu lokasi pada saat matahari terbenam terbagi menjadi 5 kemungkinan: (1) tidak mungkin bisa dilihat (impossible), karena memang hilal belum ada (moonset lebih awal daripada sunset atau ijtima’ terjadi setelah sunset), (2) tidak bisa dilihat (not possible) meskipun dengan bantuan peralatan optik karena kecerahan hilal tidak cukup, (3) hanya bisa dilihat dengan bantuan peralatan optik, (4) bisa dilihat dengan mata telanjang, (5) bisa dilihat dengan mudah dengan mata telanjang. Kemungkinan ke 6 adalah unknown (tidak diketahui), terjadi pada daerah-daerah di luar 60 derajat LS dan LU karena moonset dan sunset tidak ada.
Perkembangan Terkini
Penyatuan kalender Islam yang berlaku secara internasional di seluruh dunia Islam telah diusulkan sebagai Universal Hejric Calendar (UHC) atau at-Taqweem al-Hijriy al- ’Alamiy. UHC disiapkan oleh Komisi Hilal, Kalender dan Waktu dari Arab Union for Astronomy and Space Sciences (AUASS) dalam Konferensi Astonomi Islam Ke-2
3
mengenai Aplikasi Astronomi dalam Syari’ah di Amman, Jordania, 29-31 Oktober 2001. Dalam salah satu butir resolusinya, konferensi itu menugaskan komisi tersebut untuk membuat kalender bagi negara-negara Islam karena telah terapai kesepakatan antara perhitungan astronomi dengan ru’yat menurut syari’at Islam. UHC membagi dunia menjadi 2, yaitu Wilayah Timur yang terbentang dari 180 derajat BT sampai 20 derajat BB dan Wilayah Barat yang terbentang dari 20 derajat BB sampai bagian timut benua Amerika. Inilah batas pergantian hari dan tanggal dengan Wilayah Timur lebih awal satu hari daripada Wilayah Barat. Sebelumnya, Dr Monzhur Ahmed dari Birmingham, Inggris, mengusulkan 3 zona kalender yaitu Zona A (Barat): Amerika Utara, Tengah dan Selatan dan Kanada), Zona B (Tengah): Eropa, Afrika dan Timur Tengah dan Zona C (Timur): Australia dan Asia di luar Timut Tengah. UHC telah mengadopsi kriteria visibilitas hilal yang dirumuskan Odeh. Sampai dengan awal 2008, baru Jordania dan Algeria yang mengadopsi UCH untuk kalender resmi negara.
Lima tahun kemudian, tanggal 13-14 Desember 2006 (22-23 Zulqaidah 1427 H) di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, berlangsung konferensi internasional Aplikasi Perhitungan Astronomi. Konferensi yang dihadiri oleh hampir 100 astronom terkemuka dunia ini antara lain membahas hasil-hasil riset astronomi dan observasi hilal, visibiltas hilal dan perhitungannya, perhitungan waktu shalat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, penentuan arah kiblat, adopsi UHC, obervatorium dan pendidikan astronomi di dunia Islam dan dukungan terhadap ICOP yang didirikan tahun 1998 sebagai satu-satunya program global untuk observasi hilal. Konferensi ini menghasilkan beberapa rekomendasi penting, antara lain agar dunia Islam mengadopsi kalender Islam yang didasarkan pada perhitungan visibiltas hilal dan menolak kesaksian pengamatan hilal yang tidak sesuai dengan catatan-catatan yang diketahui dengan benar (misalnya umur bulan, lag time dan limit Danjon), kecuali kesaksiannya itu dikonfirmasi dan diterima oleh komisi ahli astronomi. Rekomendasi ini penting untuk menghilangkan ketidakpastian kalender yang sering berubah hanya karena ada kesaksian individu yang observasi hilalnya tidak didampingi astronomer berpengalaman seperti yang kerap terjadi pada Kalender Ummul Qura (Arab Saudi).
Masalah dan Harapan
Sebagian besar masyarakat kita mungkin menganggap bahwa perbedaan dalam menentukan awal bulan Hijriyah, yang berimplikasi pada perbedaan hari-hari raya dan ritual ibadah, disebabkan oleh penentuan secara hisab dan rukyat. Pendapat ini telah membagi masyarakat awam menjadi dua kutub ekstrim. Di satu kutub, rukyat dipegang teguh seolah-olah ilmu astronomi tidak ada, hilal sama sekali tidak bisa diprediksi dan karenanya yang penting hilal bisa dilihat atau tidak. Di kutub yang lain sebaliknya, yang penting adalah hisab. Kalau di suatu tempat pada saat matahari terbenam hilal sudah wu- jud, tidak peduli apakah bisa dilihat atau tidak, maka hari besok sudah masuk awal bulan.
Dalam astronomi, sesungguhnya hisab dan rukyat adalah dua metoda yang sama-sama dipakai dan saling melengkapi, tidak ada dikotomi di antara ke duanya. Rukyat merupakan observasi astronomi biasa yang sampai saat ini masih digunakan. Formula hisab dibuat berdasarkan akumulasi data pengamatan bulan sejak ribuan tahun yang lalu.
4
Dalam astronomi, rukyat dilakukan setiap saat selama langit cerah dan pada semua benda langit, bukan pada bulan saja dan tidak hanya pada awal bulan dan hanya tiga kali dalam setahun. Anehnya, jadwal shalat tidak pernah dirukyat, padahal jadwal ini disusun dengan rumus-rumus hisab juga. Tidak seorang pun meragukannya dan tidak merasa perlu membuktikannya dengan rukyat.
Sesungguhnya sistem penanggalan Islam yang didasarkan pada peredaran bulan menyimpan sejumlah rahasia, hikmah dan manfaat. Karena kalender Hijriyah lebih pendek 11 hari daripada kalender Julius/Gregorius, waktu-waktu ibadah menjadi berubah-ubah bulannya sepanjang tahun. Di musim panas, puasa Ramadhan di Eropa sangat panjang, sebaliknya puasa di musim dingin sangat pendek. Demikian juga dengan musim Haji, akan berlangsung dalam musim-musim berbeda secara teratur. Ini merupakan salah satu wujud keadilan Allah, waktu yang panjang diimbangi dengan waktu yang pendek, udara yang panas dikompensasi dengan udara yang dingin. Kita yang berada di wilayah khatulistiwa tidak terlalu merasakan perbedaan waktu ini karena memang musim pun tidak ekstrim. Pergeseran musim ini tidak terjadi pada kalender Julius/Gregorius sebagai kalender Masehi. Di bumi belahan utara yang memiliki 4 musim, Natal selalu terjadi pada musim dingin sedangkan di belahan bumi selatan sebaliknya, Natal selalu berlangsung pada musim panas.
Penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah telah menjadi perhatian publik karena semua insan bisa turut serta mengamati hilal. Selain itu, semua orang menunggu apakah besok sudah lebaran atau belum, apakah puasa Arafah hari atau besok, dan seterusnya. Ini pun tidak terjadi pada kalender Julius/Gregorius, sampai ada loncatan 10 hari sekali pun tidak terlalu menjadi perhatian umum kecuali para petani yang jadwal kerjanya bergantung pada musim. Juga, pergantian tanggal yang berlangsung saat matahari terbenam, ketika alam menampilkan pesonanya, tidak luput dari perhatian masyarakat. Banyak orang bersusah payah mencari tempat untuk bisa menyaksikan detik-detik menjelang sunset yang amat indah. Ini pun tidak terjadi pada kalender Julius/Gregorius karena pergantian tanggal dan hari berlangsung tengah malam saat sebagian besar orang sedang tidur lelap. Maka, dengan sekelumit contoh-contoh itu, kalender Hijriyah dan aspek-aspek syari’ah dan astronomi yang mendasarinya akan tetap menjadi topik hangat untuk dibicarakan. Mudah-mudahan kita semakin cerdas memahami dan menggunakannya.
Depok 12 Januari 2008
5
|