Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 26 Guests: 26 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2011 » September » 19 » Komaruddin Hidayat Deprivatisasi Agama
10:26:03 AM Komaruddin Hidayat Deprivatisasi Agama |
Dalam masyarakat Barat, sejak dekade 1980-an, agama tampil begitu mencolok ke dalam ranah sosial dan panggung politik serta memperoleh publikasi besar-besaran.
Fenomena ini menyalahi ramalan dan teori pendukung fanatik sekularisme. Puncaknya pada peristiwa 9/11 yang menghancurkan Menara Kembar New York, simbol keunggulan Amerika Serikat. Revolusi Islam di Iran, gerakan solidaritas di Polandia, gerakan revolusioner Sandinista di Amerika Latin, dan fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat kesemuanya merupakan gerakan keagamaan yang mengusung agenda sosial dan politik.
Dengan demikian, teori seputar sekularisme dan sekularisasi telah dipertanyakan validitasnya oleh berbagai ilmuwan sosial. Peristiwa 9/11 bagaikan pengguntingan pita sejarah akan kembalinya peran dan isu agama dalam panggung politik global dengan berbagai implikasinya.
Selama 10 tahun terakhir sejak 2001, belanja Pemerintah AS untuk berperang melawan apa yang mereka sebut sebagai pusat jaringan terorisme agama di Afghanistan dan Irak mencapai lebih dari USD2 triliun. Akibat perang melawan terorisme, AS tidak saja terbelit utang besar yang tak terbayangkan sebelumnya, tapi juga krisis kredibilitas di tingkat dunia.
Di mata Bush dan konco-konconya, agama (Islam) dipandang sebagai wajah yang seram dan mengundang kebencian serta sumpah serapah. Tetapi, sungguh di luar dugaan, sejak revolusi Iran pada 1979 dan disambung lagi dengan peristiwa 9/11, berbagai kajian dan seminar tentang Islam di universitas Barat semakin berkembang.
Masyarakat dunia tidak serta merta sepakat bahwa Islam adalah agama teroris. Hampir semua universitas unggulan di sana memiliki program studi Islam yang diasuh oleh berbagai profesor ahli dari berbagai disiplin ilmu. Pengamat dan penulis kenamaan semacam Karen Amstrong menjadi salah satu jembatan dialog intelektual Barat dan Islam.
Anggapan dan kebijakan negara bahwa agama merupakan urusan pribadi atau private tidak lagi valid sepenuhnya. Yang justru terjadi adalah deprivatisasi agama. Secara langsung atau tidak langsung, sekian banyak negara yang mengaku sekuler telah membelanjakan uangnya untuk mengurusi agama.
Proses demokratisasi yang berlangsung di dunia Islam pun justru didorong oleh spirit dan tokoh-tokoh agama. Terlebih di Indonesia, agama memiliki posisi politik yang besar baik dalam tubuh birokrasi pemerintahan maupun di ruang publik. Gairah dan aktivitas beragama sangat mencolok.
Hanya saja, selalu menjadi pertanyaan, mengapa aset keagamaan ini sangat kecil dampaknya bagi perbaikan etika politik dan sosial. Agama lalu memiliki tiga kaki yang sama-sama kokohnya, yaitu pada wilayah komunal, wilayah publik, dan wilayah birokrasi negara. Di Indonesia simbol dan agenda keagamaan secara resmi masuk Istana. Bahkan terdapat departemen yang mengurus agama.
Sekarang bermunculan perda-perda syariah meski menjadi bahan perdebatan. Posisi agama yang bermula dari wilayah pribadi lalu bergerak ke wilayah komunal, publik, dan negara ikut memperkuat tren deprivatisasi agama. Yang perlu dicermati adalah ketika etos agama yang mestinya berlaku di wilayah komunal lalu diterapkan pada wilayah politik atau publik.
Misalnya, tradisi saling memaafkan dan mengasihi itu sangat mulia diberlakukan pada ranah komunal. Tetapi ketika itu diberlakukan secara keliru dalam ranah publik dan kehidupan bernegara, akan memperlemah gerakan pemberantasan korupsi ketika yang melakukan itu teman dekat seiman dan segolongan.
Menolong teman seiman itu memang sangat dianjurkan Tuhan. Tetapi, kalau masuk ke wilayah birokrasi, itu akan menggerogoti prinsip profesionalisme serta meritokrasi dan yang kemudian muncul adalah budaya koncoisme yang membuat busuk birokrasi dengan pembenaran persahabatan seiman.
Dalam masyarakat Barat yang tadinya menganut paham sekuler pun mengalami problem bagaimana memosisikan agama ketika agama tidak lagi dibatasi dalam wilayah privat. Negara lalu ikut mengatur soal jilbab bagi warga negaranya. Negara ikut mengontrol pertumbuhan rumah-rumah ibadah, termasuk pengeras suara di masjid.
Negara mengeluarkan dana riset untuk memahami dan memantau perkembangan agama. Negara mesti mencetak sarjana ahli agama untuk diperbantukan dalam Departemen Luar Negeri dan Departemen Perdagangan. Ini semua menunjukkan bahwa agama sekarang ini tetap saja eksis dan memiliki multiperan yang tidak bisa dianggap kecil dalam masyarakat dan negara yang katanya modern dan sekuler sekali pun.
Meski begitu, di tengah kegairahan mengusung simbol-simbol agama, muncul kesan bahwa yang lebih menonjol adalah revitalisasi pemikiran lama, miskin pemikiran alternatif visioner yang menawarkan solusi problem kemanusiaan global.
PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT Rektor UIN Syarif Hidayatullah
|
Category: BERITA SERBA SERBI |
Views: 1123 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|