Main
 
BUDI SANTOSOSaturday, 02.11.2024, 7:21:08 PM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
BERITA SERBA SERBI
BERITA UMUM
BERITA UNIK,LUCU DAN ANEH
BERITA YANG UNIK DAN YANG ANEH
EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI DAN BISNIS
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
BERITA SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
MP3
Kumpulan MP3
SENI DAN BUDAYA
SENI DAN BUDAYA
GAME
KATA - KATA MUTIARA
FILM
PUISI DAN PANTUN

DETIK

Statistics

Total online: 16
Guests: 16
Users: 0

Main » 2011 » November » 3 » Kaum Muda Memimpin? (By : Toto Suparto)
9:38:28 AM
Kaum Muda Memimpin? (By : Toto Suparto)










Politik menjelang 2014 kian gaduh. Padahal kini masih tersisa
tiga tahun, tetapi bendera start menuju kursi R1 sudah dikibarkan. 
Partai Golkar, misalnya, sudah menjagokan sang ketua umum Aburizal
Bakrie. Bahkan mesin politik ini sudah menyiapkan strategi untuk
membangun pencitraan Ical, sapaan Aburizal Bakrie.
    
Nama lain
bakal menjadi pesaing Ical. Hasil beberapa survei tetap memunculkan
nama-nama "tradisional" macam Megawati Soekarnoputri, Wiranto, Prabowo
Subianto, hingga M Jusuf Kalla. Menariknya, survei juga mencuatkan nama
dari kaum muda. Inilah yang kemudian memicu wacana yang meminta generasi
tua mundur dari panggung kepemimpinan nasional, dan memberi kesempatan
kepada kaum muda. Generasi tua disarankan untuk "pensiun" saja. Biarlah
kaum muda berkesempatan memimpin negeri ini.
    
Atas wacana itu
muncul pandangan pesimistis, adakah kaum muda yang layak untuk jadi
pemimpin nasional? Ada alasan kuat dalam pandangan pesimistis ini.
Setidaknya hasil survei Lingkar Survei Indonesia (30/10/2011) menguatkan
bahwa kaum muda belum diminati. LSI menggolongkan kaum muda adalah
mereka di bawah usia 50 tahun. Hasilnya, dukungan publik terhadap kaum
muda untuk maju pada Pilpres 2014 hanya di bawah tiga persen! Bahkan
37,6 persen responden menyebutkan politisi muda sama buruknya dengan
politisi senior. Dari sinilah muncul pertanyaan sinis, "Kaum muda
memimpin?"  
    
Pertanyaan sinis itu juga diperkuat dengan fakta
bahwa partai politik tak mau memunculkan kader muda mereka. Sebenarnya,
sisa waktu tiga tahun menuju 2014 terhitung cukup untuk menjaring kaum
muda yang potensial menjadi pemimpin. Parpol sudah bisa menjaring
kader-kader potensial. Tetapi sayangnya, generasi tua yang sudah lama
membangun partainya, merasa lebih cocok tampil. Maka hilanglah
kesempatan kader muda mereka.
    
Belum lagi jika
dipertimbangkan dengan alat ukur tertentu, pesimisme itu bakal kian
menebal. Salah satu alat ukur dimaksud adalah kadar intelektual. Jujur
saja, kadar intelektual ini acap diragukan. Padahal para pendiri bangsa
ini adalah mereka yang menjunjung tinggi intelektual tersebut. Bukankah
calon pemimpin musti berpijak kepada rekam jejak pendiri bangsa?
    
Intelektual? 
Selama ini banyak di antara kita beranggapan bahwa intelektual itu
sejalan dengan tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang,
kian tinggi kadar intelektual tersebut. Sejatinya bukan selalu begitu.
Secara filosofis, mereka yang menjalankan fungsi intelektual adalah
mereka yang bersikukuh dengan hati nurani. Seseorang berhati nurani
ketika ia berkesadaran moral, yakni sadar bahwa ia mutlak memilih yang
benar. Kesadaran ini berasal dari diri sendiri, dan tidak dapat
ditawar-tawar.
    
Mereka yang tulus menjalankan fungsi
intelektual sudah barang tentu harus mengalahkan pergolakan batin dan
menempatkan hati nurani sebagai pemenang. Rasanya benar jika Vaclav
Havel berpandangan kaum intelektual itu merupakan hati nurani bangsa.
    
Secara
ekstrem kaum intelektual itu akan membuang jauh-jauh pragmatisme demi
menjunjung idealisme. Namun bukan rahasia lagi bahwa partai politik
merupakan kendaraan bagi para calon pemimpin. Dukungan infrastruktur
parpol ini ibarat jalan lempang sampai ke kursi kepemimpinan. Oleh
karena itu, anggapan banyak orang, siapapun yang ingin menjadi
pemimpin,  ia tidak bisa meninggalkan peran parpol. Artinya, kaum muda
yang berhasrat jadi pemimpin, mereka musti memilih parpol tertentu.
    
Celakanya
kendaraan parpol itu berpenumpang kaum pragmatis. Politik bukan untuk
mengabadikan diri, apalagi mengabdikan diri, tetapi untuk memanjakan
diri. Mereka sungguh mengabaikan peringatan Aristoteles, bahwa aktif
dalam berpolitik menjadi baik sejauh tidak diperbudak proses biologis.
Justru yang terjadi adalah "perbudakan biologis".
    
"Perbudakan
biologis" itu menempatkan ”kesenangan tubuh lebih baik daripada
kesenangan jiwa”. Lalu, tubuh dimanjakan dengan materi sehingga
menimbulkan kesan bahwa urusan perut adalah segalanya. Ketika politisi
diperbudak proses biologis, aktivitas politik jadi mata pencarian.
Untung rugi dan kepentingan pribadi menjadi tolok ukur. Mereka
berpendapat, adalah politisi tolol jika tak mendapat keuntungan duniawi.
    
Sejalan
dengan pemikiran itu maka celaka jika politik dianggap melulu sebagai
pekerjaan. Kemudian yang terjadi adalah urusan orang banyak akan
terabaikan. Sejatinya politik bukan sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan, tetapi untuk mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung
dalam politik, yaitu kebebasan, kesetaraan, keadilan, dan solidaritas.
    
Bolehlah
beranggapan bukan zamannya politisi tak memikirkan urusan perut.
Alangkah bagusnya jika anggapan itu ditempatkan secara proporsional.
Artinya, urusan rakyat juga diperhatikan. Ada perimbangan saat menikmati
fasilitas negara dan seberapa besar kontribusi yang diberikan bagi
kesejahteraan rakyat.
    
Perbudakan biologis ini yang
senantiasa mengancam intelektual kaum muda. Banyak di antara kaum muda
ini beranggapan buat apa bersusah payah berpolitik jika bukan demi
kepuasan duniawi. Kekuasaan adalah akses, dan tentu saja sangat
disayangkan bila akses itu tak dimanfaatkan demi kepentingan pribadi
atau golongan. Inilah godaan utama untuk menjalankan fungsi intelektual
dimaksud.
    
Tentu saja sangat disayangkan jika mereka yang
selama ini menjalankan fungsi intelektual itu "kalah" dalam pergolakan
batin untuk mengikuti pragmatisme. Ini sama artinya kaum muda  telah
kehilangan hati nurani. Lantas, siapa yang bakal secara mutlak memilih
yang benar? Jika semua kompromis dalam menegakkan kebenaran, bangsa ini
kian terbenam dalam kubangan pragmatisme. Semua diukur dengan
"kepentingan pribadi", ketimbang "kepentingan orang banyak". Kemudian
yang terjadi, rakyat hanya gigit jari menonton berbagai kalangan berebut
akses. Lebih celaka jika kaum muda yang digadang-gadang menjadi calon
pemimpin malah bergabung dengan "kalangan yang berebut akses"!
    
Oleh
sebab itu, tak berlebihan muncul pandangan pesimistis. Tak berlebihan
juga jika pertanyaan sinis acap terngiang-ngiang, "Kaum muda memimpin?".
Tetapi pandangan pesimistis itu harus diberangus. Salah satu cara,
masyarakat sipil musti membuat gerakan untuk memunculkan kamu muda ke
permukaan. Kita bisa memulainya dari dunia maya agar lama-lama meloncat
ke dunia realita! (*)

Category: BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL | Views: 946 | Added by: budi | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

Calendar
«  November 2011  »
SuMoTuWeThFrSa
  12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
27282930

Entries archive

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024