Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 33 Guests: 33 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2011 » December » 31 » Ferry Ferdiansyah Upaya Menyelamatkan UKM dan Hutan
12:40:54 PM Ferry Ferdiansyah Upaya Menyelamatkan UKM dan Hutan |
Setelah sempat mengalami tarik ulur, Pemerintah akhirnya mengeluarkan kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan. Larangan ini bertujuan untuk melindungi rotan dalam negeri. Karena selama ini, terbukti kebijakan ekspor rotan belum dapat mendorong laju pertumbuhan industri rotan di dalam negeri. Dalam siaran persnya, Gita Wiryawan berpendapat, bahwa penutupan ekspor bahan baku rotan dengan keyakinan akan terjadi penyerapan oleh industri di dalam negeri.
Alasan mendasar dari dikeluarkannya kebijakan larangan ekspor bahan baku rotan ini antara lain, untuk menjaga ambang lestari sumber daya rotan dan hutan, meningkatkan utilisasi industri dan ekspor produk rotan, serta untuk mencegah terjadinya penyelundupan akibat masih diperbolehkannya ekspor jenis-jenis rotan tertentu.
Selama ini, kalangan perajin rotan di Indonesia mengeluh karena kesulitan mencari bahan baku rotan akibat dibukanya izin ekspor bahan baku rotan ke luar negeri. Di lain pihak, harga ekspor rotan mentah yang murah menyebabkan semakin kompetitifnya produk negara kompetitor seperti vietnam dan China. Bahkan pasar Indonesia sendiri telah dijajah produk China. Apa lagi, seperti kita ketahui, bahwa kekayaan alam Indonesia yang tak terhingga diperuntukan untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidup rakyat. Namun, alangkah kecewanya jika melihat kenyataan yang ada. Justru, kekayaan alam tersebut terkesan terabaikan dan digunakan untuk kemajuan dan meningkatkan perekonomian negara lain dengan mengeksploitasi kekayaan alam di negeri ini.
Kebijakan Merugikan
Kebijakan sebelumnya, Indonesia mengirim bahan baku rotan ke China. Yang lebih menyakitkan, bahan baku tersebut diproses di China. Kemudian setelah jadi, dikembalikan ke pasar domestik di negeri ini. Pemandangan ini sering kita jumpai di tempat-tempat perbelanjaan. Baik itu mall ataupun pusat perbelanjaan lainnya. Bahkan merambah hingga pasar tradisional. Berbagai bentuk barang yang terbuat dari rotan, justru diproduksi oleh negara lain seperti China. Sedangkan bahan bakunya di dapat dari negeri ini Kondisi ini sangat ironis bagi usaha kerajinan di tanah air. China menyerang industri rotan Indonesia dengan persenjataan yang diperoleh dari dalam negeri. Kenyataan ini semakin melemahkan industri rotan di penjuru nusantara. Apa lagi keadaan ini juga dipengaruhi keberadaan bahan baku sintetis mengingat ketiadaan rotan asli. Akibatnya, selama ini mayoritas pengusaha yang bergerak di bidang usaha rotan beralih menggunakan bahan baku rotan sintetis China. Kenyataan ini, menyebabkan industri rotan nasional terancam kolaps. Hal ini disebabkan karena kekurangan bahan baku. Penyebabnya disinyalir terjadi karena adanya ekspor ilegal besar-besaran. Dampak dari kegiatan ini, tidak hanya dirasakan industri pengolah rotan yang berada di Surabaya dan Cirebon yang kekurangan bahan baku. Industri pemasok rotan di Sulawesi yang merupakan sentra produsen selama ini pun mengalami kesulitan yang tak jauh berbeda. Di sisi lain, pasca dibukanya ekspor rotan mentah atau setengah jadi pada tahun 2003, membuat kondisi usaha di dalam negeri mengalami masa keterpurukan dan semakin memburuk pada tahun 2010. Saat itu, banyak pelaku industri di tanah air gulung tikar.
Pada periode yang sama, total industri rotan skala besar di Jatim tersisa 10 persen dibandingkan jumlah mereka pada tahun 1990-an yang mencapai sekira 90 perusahaan. Situasi itu juga tampak dari kebutuhan rotan Jatim yang hanya 7.000 ton per tahun atau turun dibandingkan permintaan pada tahun 1990-an sebesar 70.000 ton per tahun.
Penyelamatan UKM dan Hutan Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) berpendapat, bahwa Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia. Sekitar 85 persen bahan baku rotan dihasilkan oleh Indonesia. Pada tahun 2010, luas areal hutan rotan Indonesia tinggal 1,34 juta hektare dengan jatah tebang tahunan (annual allowable cut/AAC) lestari sebanyak 210.064 ton rotan kering per tahun. Hutan ini tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Papua. Sementara itu, luas rotan budidaya hanya 48.000 hektare. Bila eksploitasi hanya boleh 60 persen AAC, maka ketersediaan bahan baku rotan di dalam negeri hanya sekira 126.000 ton rotan kering. Rotan itu sebagian diekspor dalam bentuk asalan dan rotan setengah jadi, seperti rotan poles, core, fitrit, dan kulit. Ekspor bahan baku rotan pada 2010 mencapai 32.845 ton dengan nilai US$32,35 juta atau sekira Rp290 miliar. Jika kita melihat dari kenyataan yang ada. Bahwa Kebijakan ekspor rotan yang sebelumnya terjadi di negeri ini, merupakan keanehan tersendiri, bahkan sesuatu kelangkaan yang terjadi di dunia. Sampai saat ini, di seluruh Negara, di penjuru dunia tak ada satupun negara yang mengekspor rotan mentah kecuali Indonesia. Selain itu, pendapatan pengusaha khususnya UKM yang memproduksi produk dari bahan baku rotan semakin meningkat. Dengan adanya penghentian kran ekspor bahan baku rotan ini, setidaknya hutan rotan dapat melakukan pemulihkan selama 2-3 tahun mendatang, karena China telah mengimpor rotan dan menyetok hingga setahun ke depan. Selain itu, pendapatan pengusaha khususnya UKM yang memproduksi produk dari bahan baku rotan semakin meningkat. Dengan ditutupnya keran perdagangan ekspor bahan baku rotan ke seluruh negara maka volume ekspor produk rotan bisa tumbuh signifikan
Secara pribadi penulis menilai, upaya yang dilakukan Menteri Perdagangan berkaitan dengan kebijakan penghentian ekspor rotan ini sangat membantu para pelaku UKM dalam meningkatkan pendapatan. Khususnya mereka yang bergerak di usaha mebel dan kerajinan rotan. Kebijakan ini setidaknya memudahkan mereka mendapatkan bahan baku rotan yang diperuntukan untuk peningkatan produksinya. Meskipun, pada akhirnya kebijakan ini mengalami pro dan kontra dengan adanya sebuah anggapan, bahwa kebijakan pelarangan ekspor rotan ini justru mematikan dan merugikan petani dan pengrajin rotan.
Industri rotan merupakan salah satu industri padat karya sehingga saat produknya bisa diekspor dalam bentuk produk jadi. Jika di ekspor dalam bentuk produk jadi, maka keuntungan yang didapat lebih besar dibanding diekspor dalam bentuk mentah. Contoh, jika rotannya diekspor mentah maka nilai tambahnya hanya US$1 sedangkan dalam bentuk produk jadi bisa US$10.
Saat ini, hutan di Indonesia telah rusak akibat eksploitasi berlebihan. Ekspor rotan mentah menimbulkan kerusakan, tidak memberikan manfaat bagi Indonesia. Keadaan ini penulis memandang apa yang Arne Naess ungkapkan dalam memandang sebuah krisis lingkungan yang terjadi (dalam hal ini Indonesia), hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Untuk mengatasi permasalahan yang berhubungan dengan penyelamatan hutan rotan ditanah air ini serta menyelamatkan UKM akan kebutuhan rotan untuk memenuhi peningkatan produksi dalam negeri,dibutuhkan sebuah pola hidup atau gaya baru yang tidak hanya sebatas menyangkut orang per orang, tetapi masalah budaya masyarakat secara keseluruhan. Artinya, dibutuhkan etika lingkungan hidup yang menuntun manusia berinteraksi dengan lingkungan hidup saat ini. Cara pandang ini sangat menentukan gerak langkah manusia terhadap kegiatannya, termasuk dalam memperlakukan alam ini.
Pernyataan dari Menteri Kehutanan pun senada dengan apa yang diungkapkan Menteri Perdagangan. Menterian Kehutanan mendukung langkah ini karena menurutnya saat ini telah terjadi eksploitasi hutan rotan secara berlebihan karena ekspor rotan secara ilegal. Semua ekspor rotan tersebut menurut pendapatnya telah melebihi daya dukung hutan rotan di Indonesia karena para eksportir hanya memikirkan keuntungan jangka pendek tanpa memikirkan dampak yang ditimbukan dari eksploetasi yang berlebihan tersebut terhadap masyarakat sekitar.
Penulis berpendapat, dengan ditutupnya keran perdagangan ekspor bahan baku rotan ke seluruh negara maka volume ekspor produk rotan bisa tumbuh signifikan. Bukan hanya untuk menyelamatkan UKM semata pada akhirnya. Kebijakan penghentian ekspor ini setidaknya telah menyelamatkan hutan di negeri ini.
Ferry Ferdiansyah Penulis merupakan Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Mercubuana Jakarta Program Studi Magister Komunikasi
|
Category: EKONOMI DAN BISNIS |
Views: 973 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|