Ilustrasi. Foto: Koran SI
JAKARTA - DPR diminta untuk menangguhkan terlebih
dahulu pengesahan Rancangan Undang-Undang Pangan menjadi Undang-Undang.
Alasannya, masih banyak sisi abu-abu dan lubang-lubang yang bisa
dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu. Termasuk oleh para ‘pemain
politik’ untuk mencari rente alias dana partai.
"Kesannya
terburu-buru, padahal urusan pangan ini sangat vital bagi rakyat. Ada
apa ini?” ujar Direktur Pusat Penelitian, Kebijakan dan Agribisnis
Pangan Universitas Padjajaran, Bandung Ronnie Natawijaya yang merupakan
alumni S3 bidang ekonomi Pertanian Universitas of Hawai, Amerika, itu,
di Jakarta, Sabtu (12/11/2011).
Tiba-tiba saja, menurut Ronnie,
RUU Pangan sudah memasuki proses pembahasan oleh pemerintah, dan tinggal
satu pintu lagi untuk pengesahannnya.
"Padahal, kami dari pihak
perguruan tinggi belum diminta masukan. Saya menanyakan kepada
teman-teman pakar pangan atau ekonomi pertanian di berbagai perguruan
tinggi di Indonesia, banyak yang belum dilibatkan,” ujarnya.
Karena
itu, dia menyarankan DPR selaku inisiator RUU Pangan menunda dulu
pengesahan dan melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder
kebijakan pangan.
Menanggapi tantangan DPR agar pihak kampus
membuat draft tandingan, menurut Ronnie, tidak perlu sampai demikian.
Tantangan itu ibarat membuka peluang yang muskil untuk dijalani.
Bukan
berarti para pakar dari kampus tidak mampu membuat draf tandingan,
namun Ronnie lebih memilih opsi memberikan masukan secara ilmiah, agar
UU tentang pangan nantinya tidak malah melenceng dari konsep ketahanan
pangan yang sedang dibangun negeri ini.
Ronnie mengaku skeptis
dengan isi RUU Pangan yang sekarang sedang digodok oleh DPR dan
pemerintah. Sebab, menurutnya, beberapa pasal dalam RUU tersebut
mengandung muatan desentralisasi yang sangat kuat.
"Hal itu
membuka peluang elit-elit daerah, mengatas namakan rakyat, melakukan
importasi komoditas pangan utama demi keuntungan kelompoknya. Akhirnya
RUU Pangan membuka peluang korupsi di daerah," ungkapnya.
Pernyataan
Ronnie itu bukan tanpa dasar. Dari pengalamannya melakukan riset
ekonomi pertanian di daerah-daerah, kemampuan pemerintah daerah dalam
mengemas kebijakan pangan dan pertanian masih sangat lemah. Hal itu juga
tercermin dari sistem otonomi daerah yang dibangun saat ini, terbukti
masih diselimuti persoalan.
"Dari hasil riset saya terungkap
bahwa hanya 10 dari ratusan pemerintah kota dan kabupaten yang memiliki
konsen (perhatian) dan memahami potensi pertanian di daerahnya,” ujar
Ronnie.
Terkait misi menggiatkan upaya diversifikasi dan menggali
potensi pangan di daerah, Ronnie mengaku sangat setuju dengan maksud
tersebut. Dengan catatan, daerah sudah mampu mengatasi kelemahan SDM dan
insfrastruktur sudah siap.
Namun, menurutnya, belum saatnya
daerah diberi wewenang penuh mengurusi kebijakan pangan. Jika ini
dipaksakan, kata Ronnie, dikhawatirkan akan menambah persoalan.
"Pemerintah daerah hanya akan mengejar PAD tinggi, sementara petani
tetap terabaikan,” tegasnya.
Dalam bahasa Ronnie, desentralisasi
pangan belum saatnya diterapkan saat ini, karena di daerah masih dalam
proses menuju demokrasi. "Nanti kalau sudah lebih dewasa dalam
berpolitik, sumberdaya manusianya juga sudah memadahi, saya setuju jika
kebijakan pangan didesentralisasikan,” ungkapnya.
Urgensinya,
kata Ronnie, bukan pada semangat desentralisasi pangan. Tapi memperbaiki
otoritas pangan sesuai dengan kewenangannya. Misalnya, antara regulator
dan operator masih belum bersinergi. Kerja sama antarlembaga harus
dibangun dengan misi menyejahterakan rakyat.
"Sebagai contoh,
saat ini antara Badan Ketahanan Pangan yang berada di bawah Kementerian
Pertanian belum bersinergi dengan Kementerian Perdagangan dan Bulog,”
ungkap Ronnie.
Pada dasarnya, Ronnie menilai, ketersediaan pangan
di Indonesia tidak buruk. "Tinggal membereskan instrumen yang kami
istilahkan sebagai food goverment dan membangun leadership tanpa
harus merombak kelembagaan yang sudah ada. Sebab, merombak kelembagaan
itu memerlukan biaya tinggi. Mengapa tidak mengoptimalkan yang sudah ada
saja?” kata Ronnie. (Sudarsono/Koran SI/ade)