Gubernur BI Darmin Nasution
JAKARTA - Bank Indonesia (BI) mengkritik keras
perbankan nasional yang masih belum efisien dalam menjalankan usahanya.
Akibat adanya inefisensi ini, bank masih cenderung menjaga jarak dengan
masyarakat dalam menyalurkan kredit.
Gubernur Bank Indonesia
Darmin Nasution mengatakan, keberlangsungan investasi tergantung pada
tiga hal yaitu ekspektasi keuntungan, iklim investasi dan ketersediaan
pembiayaan.
"Di Indonesia, ketersediaan pembiayaan merupakan
faktor yang menghambat. Hal ini terekam dalam survey BI, dimana akses
kredit bank oleh dunia usaha terkendala faktor, tingginya suku bunga
kredit, kertersediaan kredit dan persyaratan kredit yang rumit,"
ungkapnya kala memberikan sambutan dalam Bankers Dinner yang digelar di Gedung BI, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Jumat (9/12/2011)
Dalam paparan pada Bankers Dinner
yang mengambil tema "Mewujudkan Keseimbangan yang Efisien Menuju
Pertumbuhan yang Berkesinambungan" ini, Darmin menilai fungsi mediasi
perbankan di tahun depan perlu ditingkatkan. Salah satunya dengan
pemberian kredit untuk menggerakkan sektor riil.
Hal ini
penting, mengingat tahun depan ekonomi dunia dan Indonesia akan
cenderung melambat. Karenannya, dia menilai, salah satu cara untuk tetap
mendorong perekonomian di masa krisis adalah dengan partisipasi
perbankan.
"Tingginya aset industri perbankan kita belum
seimbang dengan kontribusi perekonomian, ini karena terdapat bagian dari
aset perbankan yang jika dilihat dari perspektif makro tidak efektif.
Karena, perbankan kita lebih memilih berinvestasi di pasar sekunder
(pasar SBI)," lanjut dia.
Perbankan Indonesia, lanjut Mantan
Dirjen Pajak ini, memang lebih memilih menyimpan likuiditasnya untuk
berinvestasi di pasar sekunder BI, ketimbang menyalurkan kredit ke
masyarakat. Per Oktober lalu, dana kepemilikan Sertifikat Berharga
Negara (SBN) mencapai Rp 245,97 triliun dan kepemilikan bank pada
instrumen moneter sebesar Rp415,48 triliun.
"Kepemilikan ini
sekira 31,40 persen dari total penyaluran kredit di perbankan sekira
Rp2.106,2 triliun dan sekira 60 persen instrumen moneter BI dikuasai
oleh bank besar," tambah Darmin.
Padahal, sambung Darmin, Bank
Sentral telah menurunkan tingkat suku bunga acuannya mencapai enam
persen di November lalu. Dengan peurunan suku bunga acuan ini, BI masih
belum mengimbangi penurunan BI rate dengan penurunan SBDK, sehingga
spread (jarak) antara BI rate dengan SBDK masih jauh dengan beberapa
negara di Asean lainnya. (nia)