Ilustrasi
MENJADI petani di negeri ini identik dengan sejuta
kesialan. Saat hendak menanam, petani terbentur modal dan sulit
mangakses aneka sarana produksi pertanian. Kalaupun ada, harganya
selangit.
Dalam hal modal,dengan alasan tidak bankable, perbankan
ogah mengucurkan kredit. Saat sudah tanam, anomali iklim membuat
kekeringan dan banjir jadi ajeg dan hama-penyakit meruyak. Didesak
kebutuhan sehari-hari yang tak terelakkan, pada hari-hari menunggu panen
petani terpaksa berhubungan dengan rentenir atau pengijon. Begitu
panen, mereka tak berdaya menghadapi tengkulak yang memainkan harga
seperti roller coaster.
Setelah panen merupakan hari
mendebarkan karena petani menjadi konsumen dan harus membeli pangan
dengan harga mahal. Ujung dari lingkaran ini: petani tak berdaya dan
termarginalkan, baik secara sosial, ekonomi maupun politik. Logis jika
petani tidak bangga disebut pak tani. Padahal, di negara lain petani itu
profesi terhormat. Pemiskinan petani sebetulnya sudah lama diketahui.
Misalnya
survei Patanas (2000) menemukan, 80 persen pendapatan rumah tangga
petani kecil disumbang dari kegiatan di luar pertanian seperti ngojek,
dagang, dan pekerja kasar.Secara evolutif,sumbangan usaha tani padi
dalam struktur pendapatan rumah tangga petani merosot: dari 36,2 persen
tahun 1980-an tinggal 13,6 persen. Fakta ini menunjukkan tak ada lagi
"masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan
sebagian besar kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu.
Punahnya masyarakat petani sudah lama diketahui. Kajian perdesaan selama 25 tahun (Collier dkk, 1996) menemui
fakta getir: tenaga kerja muda di perdesaan Jawa kian langka.Yang
tersisa hanya pekerja tua-renta dan tidak produktif, yang lambat
responsnya terhadap perubahan dan teknologi. Kalaupun ada petani muda,
mereka terpaksa bertani karena tak terserap sektor formal.
Jumlah
petani di atas usia 50 tahun mencapai 75 persen, 30–49 tahun 13 persen,
sisanya 12 persen berusia kurang dari 30 tahun. Krisis tenaga kerja
pertanian tinggal menunggu waktu. Akhirnya, pertanian identik dengan
kemiskinan, gurem dan udik, serta tidak menarik tenaga terdidik. Ini
terjadi karena sektor pertanian mengalami dekstruksi sistemis di semua
lini, baik di on farm, off farm maupun industri dan jasa pendukung.
Di on farm telah
terjadi fragmentasi produksi dan distribusi input pertanian; degradasi
sumber daya tanah, air,dan iklim akibat pembabatan hutan dan buruknya
implementasi tata ruang; dan memburuknya daya tampung dan distribusi DAS
karena infrastruktur irigasi tidak pernah dibenahi. Di off farm dan
jasa pendukung ditandai nihilnya dukungan bank, dicabutnya subsidi, tak
fokusnya perencanaan SDM pertanian,liberalisasi kebablasan, dan tidak
bersenyawanya lembaga pendidikan dan riset dengan petani.
Konversi
lahan-lahan pertanian produktif tanpa henti membuat investasi
irigasi,jalan,dan infrastruktur muspra. Akhirnya, investasi dan
teknologi, seperti introduksi varietas unggul baru, belum mampu
menggenjot produksi secara signifikan. Program revitalisasi, peningkatan
daya saing, peningkatan produksi petani dan kesejahteraan petani tidak
hanya membentur tembok, tapi segalanya menjadi sia-sia.
Apalagi,
desentralisasi dan otonomi daerah membuat Kementerian Pertanian tak
selincah dulu karena tidak punya ”tangan dan kaki” di daerah. Sektor
pertanian betul-betul sakaratul maut. Di bidang industri, pemerintah
lebih mementingkan kegiatan di sektor industri/jasa di perkotaan
daripada di sektor primer (pertanian) yang jadi gantungan hidup
mayoritas warga perdesaan.
Pertanian dan industri yang mustinya
bersinergi lewat konsep urbanrural linkages untuk mencapai kesejahteraan
bersama tidak terjadi. Sebaliknya, justru tercipa kesenjangan
kota-desa, keterbelakangan desa, dan marginalisasi ekonomi perdesaan.
Jika memang pemerintah berniat mengembalikan martabat dan kebanggan
petani, harus ada pembalikan arah pembangunan: dari sektor nontradable
(keuangan, jasa, real estat, transportasi dan komunikasi, serta
perdagangan/ hotel/restoran) yang bersifat padat modal, teknologi dan
pengetahuan ke sektor tradable (pertanian, pertambangan, dan manufaktur) yang padat tenaga kerja dan berbasis lokal.
Tanpa
perubahan pilihan strategi industrialisasi dan pembangunan, mustahil
kemiskinan dan pengangguran di perdesaan bisa dihapuskan. Untuk
menghapus kemiskinan di perdesaan harus dilakukan pembangunan perdesaan.
Dari sisi petani, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses
pasar jadi kebutuhan primer. Tidak cukup redistribusi tanah (landreform).
Selain
itu, fokus pembangunan ekonomi seharusnya bukan hanya berada di
pertanian atau pendalaman struktur industri, tetapi juga membangun
proses industrialisasi yang mampu mengubah pola transformasi ekonomi ke
arah transformasi ekonomi yang menghasilkan pola perubahan struktural
yang memperkuat ekonomi Indonesia di masa datang. Kesalahan
industrialisasi tanpa transformasi struktur ekonomi tidak hanya
memiskinkan petani, tetapi juga membuat fondasi ekonomi rapuh.
Menumpuknya
tenaga kerja di sektor pertanian/perdesaan memperlemah kapasitas
pertanian Indonesia. Menumpuknya tenaga kerja di sektor pertanian yang
tidak diimbangi kemampuan sektor ini dalam memberikan penghidupan layak
bagi para petani dan tenaga kerja pertanian bukan hanya meningkatkan
pengangguran dan kemiskinan di perdesaan serta meningkatkan kesenjangan
desa-kota dan pertanian-industri, tetapi juga melumpuhkan perekonomian
nasional secara keseluruhan.
Ini akan memengaruhi kemampuan petani dan sektor pertanian dalam menopang pangan (food), pakan (feed), sandang-papan (fibre), dan bahan bakar (fuel) secara
berkesinambungan untuk menjamin kualitas (jiwa, raga, dan kecerdasan)
warga dan generasi mendatang. Negara yang kuat akan tercipta jika petani
kuat.
KHUDORI
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat