Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
RSS feed has not correct syntax. |
|
Statistics |
Total online: 1 Guests: 1 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2012 » January » 14 » Ardi Winangun DPR Jadi Kolam Ikan
10:01:21 AM Ardi Winangun DPR Jadi Kolam Ikan |
Apa kata Gus Dur bahwa anggota DPR seperti anak kecil ada benarnya, buktinya saat ini para anggota DPR sedang ikan-ikanan, alias saling mengejek, menyindir, dan meledek dengan saling mengibaratkan seperti ikan. Bukan ikan yang sesungguhnya jelek namun kepanjangannya yang tidak pantas.
Diawali oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Sutan Bathoegana, yang menuding politisi dari Partai Golkar dan PKS sebagai ‘ikan salmon’ alias intelektual kagetan yang asal ngomong, ungkapan tersebut rupanya direspons oleh politisi dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo dengan sebuta ‘ikan teri asin’ atau intelektual kagetan teriak sana-sini.
Ejekan Bambang Soesatyo kepada Sutan Bathoegana itu didukung oleh anggota dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, dengan sebutan ‘piranha’ atau pikiran dan pembicaraan suka beda. Tak rela temannya diejek dengan dua sebutan tadi, anggota Fraksi Partai Demokrat lainnya, Gde Pasek Wijaya, mengumpat lawan-lawan Sutan Bathoegana dengan sebutan ‘ikan tongkol’ alias isinya tong kosong hanya bikin dongkol.
Saling ejek itu tentu bisa dikatakan sebagai dinamika di parlemen dan berdampak positif, bisa pula sebagai bentuk semakin buruknya citra anggota DPR. Bisa positif apabila apa yang saling dilemparkan itu mempercepat proses pemeriksaan kasus Bank Century dan sangat merugikan apabila setelah saling ejek kasus yang ada semakin tidak jelas arahnya.
Saling ejek antaranggota itu tentu membuat DPR saat ini seperti kolam ikan, di mana ikan-ikan yang disebutkan tadi itulah watak anggota DPR kita. Yang menjelekan mereka seperti ‘ikan teri asin’, ‘ikan tongkol’, ‘ikan salmon’, dan ‘piranha’, adalah bukan rakyat namun mereka sendiri sehingga secara langsung mereka menelanjangi dirinya sendiri.
Karena diantara ikan-ikan itu saling serang maka membuat air di kolam menjadi keruh. Akibatnya, anggota DPR yang seperti ‘ikan teri asin’, ‘ikan salmon’, ‘ikan tongkol’, dan ‘piranha’, membuat mereka tak maksimal menjalankan fungsinya. Lihat saja, berbagai kerusuhan dan ketidakadilan hukum di berbagai daerah, menunjukan tidak adanya sumbangsih anggota DPR untuk ikut menyelesaikan masalah itu. Kasus sandal AAL, misalnya, bisa diselesaikan tanpa keterlibatan anggota DPR, namun bisa ‘selesai’ oleh gerakan Sandal untuk Kapolri dan KPAI. Demikian juga masalah Kerusuhan Sape Bima, hadirnya Komnas HAM membuat kasus itu bisa diurai.
Watak-watak ikan seperti yang diledekan oleh sesama anggota itulah yang mencerminkan juga sikap DPR yang semakin aneh dan jauh dari masyarakat. Lihat saja DPR hendak melakukan renovasi 220 toilet dengan anggaran mencapai Rp2 miliar. Renovasi itu disebut akan mengganti toilet lama dengan toilet yang baru. Menjadi pertanyaan, apakah benar toilet itu sudah mampet atau rusak sehingga harus diganti?
Dengan mengambil logika bahwa anggota DPR terbukti suka membolos. Bukti suka membolos anggota DPR adalah seringnya sidang-sidang di DPR yang kosong. Untuk mengatasi yang demikian, DPR sebelumnya telah mengajukan pengadaan alat elektronik untuk memantau kehadiran anggota DPR secara nyata di dalam ruang sidang. DPR percaya dengan alat elektronik tersebut siapa-siapa yang hadir dan tidak akan bisa terdeteksi lewat jejak tangannya.
Penggunaan alat elektronik yang kelak bisa memaksa anggota DPR untuk hadir ke dalam ruang sidang menunjukan bahwa sedemikian parahnya anggota DPR sehingga sampai-sampai harus menggunakan alat elektronik untuk menyuruh mereka datang. Parahnya ketidakhadiran anggota DPR hadir dalam sidang, namun tanda tangan mereka ada di atas kertas kehadiran, disebut oleh Ketua DPR Marzukie Alie dengan absen bodong.
Anggota DPR lebih sering bolos daripada mengikuti sidang karena disebabkan mereka lebih suka menjadi ‘lele’ alias leyeh-leyeh (santai) saja. Mereka tidak bisa mengikuti pembahasan dan materi sidang sehingga mereka merasa tidak enjoy berada di dalam ruang sidang. Daripada kelihatan diam dan tidak vokal atau ikan ‘Gabus’ atau nggak berbusa, mereka lebih memilih bolos atau sekadar tanda tangan kehadiran saja.
Dan, anehnya di luar sidang mereka lebih menemukan sesuatu yang lebih enjoy. Yakni memilih ngobyek atau mencari kerja sambilan di luar, menjadi broker proyek atau politik yang keuntungannya lebih besar daripada mengikuti sidang. Mereka ke daerah-daerah menemui kepala daerah untuk menjadi broker atau penghubung ke pemerintah pusat. Hal-hal itulah yang menyebabkan mengapa banyak anggota DPR sering bolos.
Dari sering tidak hadirnya anggota DPR, karena membolos, secara otomatis membuktikan toilet-toilet itu jarang digunakan. Kalau toilet jarang digunakan pasti kondisinya masih bagus sehingga rencana mengganti dengan toilet yang baru dengan anggaran sebesar Rp2 miliar terlalu mengada-ada. Alias ikan ‘belida’ atau beli tak ada gunanya.
Untuk itu yang diperlukan di sini adalah jangan sampai DPR membuka aibnya sendiri dengan menyatakan dirinya dengan ‘ikan teri asin’, ‘ikan tongkol’, ‘ikan salmon’, dan ‘piranha.’ Diperlukan di sini adalah anggota DPR bisa mampu menjadi ikan yang membuat masyarakat merasa senang dengan kehadirannya. Ikan di sini adalah bisa menolong bila dalam keadaan bahaya, seperti menjadi ikan lumba-lumba bila ada ikan hiu hendak menyerang; ikan yang bisa memberi kesejahteraan kepada para nelayan atau pembudidaya; atau ikan yang bisa memberi petunjuk kepada para pelaut atau nelayan bila kehilangan arah.
Ardi Winangun Ketua Forum Alumni Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa-Megawati Institute
|
Category: SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN |
Views: 1058 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|