Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 5 Guests: 5 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2012 » January » 4 » Ardi Winangun Apa Salah Kaum Syiah di Indonesia?
11:11:47 AM Ardi Winangun Apa Salah Kaum Syiah di Indonesia? |
Meski lambang dasar negara kita Garuda memegang pita yang bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi satu jua, namun realitanya ternyata tidak seperti itu. Selama tahun 2011, sudah banyak catatan adanya tindakan deskriminatif oleh salah satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Tindakan deskriminatif itu dilakukan dengan alasan karena adanya perbedaan paham dan kepercayaan.
Tindakan deskriminatif itu terus berulang dikarenakan, pertama negara membiarkan atau negara tidak hadir untuk menyelesaikan masalah itu. Kedua, tidak adanya rasa toleransi atau merasa benar sendiri dari kelompok masyarakat. Ketiga, adanya unsur kelompok masyarakat yang tidak mau disaingi salah satu kelompok oleh kelompok lain, tidak ada rasa lapang dada di antara masyarakat.
Agar tindakan deskriminasi ini tidak diulang maka diperlukan kerja keras dari pemerintah untuk bagaimana dirinya bisa hadir dalam setiap peristiwa, tidak hanya ketika peristiwa itu terjadi namun juga mendorong sikap keterbukaan dan rasa toleransi dari masyarakat.
Ketika agama-agama baru masuk ke Indonesia, semua dapat berkembang dengan wajar karena adanya rasa toleransi dari penduduk Indonesia asli. Mereka beranggapan anggapan baru adalah agama yang baik dan mampu membawa perubahan sikap hidup penduduk menuju kehidupan yang lebih rasional. Sehingga ketika agama itu disebarkan, tidak ada rasa antipati atau mencegah perkembangan agama itu. Namun masalahnya ketika agama baru itu sudah dianut oleh penduduk, justru yang terjadi sebaliknya. Umat yang satu melarang umat yang lain yang berkembang, bahkan di antara umat itu sendiri juga saling melarang perkembangannya.
Sikap saling melarang ini bisa jadi adanya rivalitas di antara umat beragama bahkan di antara umat beragama itu sendiri. Agama dijadikan sarana untuk kepentingan politik dan ekonomi oleh salah satu kelompok dengan tujuan agar kepentingan dan dominasinya tidak terusik. Mereka merasa terancam bila ada sesuatu yang baru dan berkembang. Untuk mencegah yang demikian, biasanya kelompok yang merasa terancam akan melakukan tindakan kekerasan atas nama kebenaran.
Sangat disayangkan ketika kelompok syiah di Indonesia dilarang oleh beberapa orang di wilayah Kecamatan Karangpenang, Kabupaten Sampang, Pulau Madura, Jawa Timur. Padahal tidak ada fatwa haram terhadap syiah untuk berkembang di Indonesia. Sangat naif bila ajaran syiah dilarang di Indonesia, pasalnya syiah masuk ke Indonesia sendiri seiring dengan masuknya agama Islam. Buktinya dari para penyebar agama Islam di nusantara, banyak wali dan sunan yang menganut syiah, jadi tidak ada yang baru dan aneh ketika syiah berkembang di masyarakat. Bukti lain dari masuknya syiah ke Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu bisa dilihat dari relief di Klentheng Cheng Ho di Semarang, Jawa Tengah. Di situ terlihat para saudagar dari Persia atau Iran sedang melakukan kunjungan ke Nusantara.
Syiah berkembang lebih pesat ke segala penjuru dunia setelah adanya Revolusi Islam di Iran pada tahun 1979 dan keberanian pemimpin-pemimpin Iran melawan Amerika Serikat dan sekutunya pada waktu berikutnya. Keberanian para pemimpin Iran melawan Amerika Serikat dan sekutunya inilah yang menjadi marketing mengembangkan syiah ke segala penjuru dunia dengan sukses. Dengan sikap tegasnya pemimpin Iran kepada Amerika Serikat dan sekutunya membuat mayoritas orang Indonesia yang suni atau abangan pun menjadi simpati ke orang-orang (syiah) Iran. Bahkan tidak sedikit orang Indonesia yang abangan atau suni menjadi syiah dengan ikut atau bergabung dengan organisasi-organisasi syiah yang ada di Indonesia, seperti di kampus-kampus maupun kelompok-kelompok pengajian.
Ketika mazhab-mazhab Islam masuk ke Indonesia semua berakulturasi dengan budaya lokal. Budaya lokal yang penuh dengan rasa toleransi ini menyebabkan perbedaan sikap dan perilaku dengan penganut mazhab dari daerah aslinya, Timur Tengah dan negara-negara Arab. Di Timur Tengah dan negara-negara Arab, perbedaan mazhab digunakan untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi, sehingga mereka bertikai dengan menggunakan Islam dan mazhabnya untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi. Penggunaan agama untuk kepentingan kekuasaan dan ekonomi yang telah terjadi ribuan tahun yang lalu akhirnya dijadikan stigma masing-masing pihak bahwa yang satu haram sehingga harus diperangi.
Bukti konflik antara syiah dengan beberapa orang di Kecamatan Karangpenang itu bukan faktor sesat atau tidak namun karena faktor seperti yang terjadi di Timur Tengah atau negara-negara Arab, yakni ada unsur ketakutan akan hilangnya kekuasaan. Ini bisa dilihat dari salah satu pemuka agama setempat yang mengatakan, pihaknya mengimbau syiah tidak berkembang menjadi besar di Indonesia. Sebab, mereka (kaum syiah) dikhawatirkan akan berkuasa di negeri ini.
Apa yang terjadi di Kecamatan Karangpenang, di mana beberapa orang melakukan deskriminasi kepada kaum syiah, untungnya di tempat lain tidak terjadi. Perkembangan syiah di tempat-tempat lain tidak menimbulkan masalah bila tidak diprovokasi atau digunakan untuk mengalihkan isu. Untuk itu menjadi tugas semua ulama untuk menyadarkan bahwa perbedaan dalam menafsirkan agama dilakukan tidak secara kaku dan tidak di luar batas yang ada (liberal) sehingga ketika memandang orang jadi benar adanya. Ketika semua masih menjadi batas-batas yang disepakati ulama maka itu disebut Islam. Sehingga ummat Islam bisa menoleransi kelompok lain yang hidup berdampingan.
Untuk meredam kesalahpahaman masyarakat di Kecamatan Karangpenang atau tempat lainnya terhadap ajaran syiah, langkah yang perlu dilakukan. Pertama, pemerintah harus menjelaskan bahwa tidak ada yang salah dengan syiah. Adanya pihak yang ingin kaum syiah dilokalisir justru itu mengesankan bahwa kaum syiah kelompok berbahaya. Biarlah syiah berkembang seperti mazhab lainnya. Kedua, bila selama ini ada elit politik, ketua organisasi pemuda, dan intelektual yang giat membela umat agama lain ketika dilarang melakukan ibadah, maka seharusnya elit politik, ketua organisasi pemuda, dan intelektual itu juga harus membela kaum syiah yang teraniaya. Bahkan keberadaan kaum syiah itu kondisinya lebih mengenaskan di mana sarana-sarana pendidikan dan ibadahnya dibakar.
Ardi Winangun Pengurus Presidium Nasional Masika ICMI dan Siswa Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa-Megawati Institute
|
Category: BERITA SERBA SERBI |
Views: 1503 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|