Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 28 Guests: 28 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2012 » January » 5 » Ahmad Husni S.Sos Melirik Capres Berusia "In Between"
5:27:48 PM Ahmad Husni S.Sos Melirik Capres Berusia "In Between" |
Beberapa waktu lalu, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Amien Rais, mengusulkan agar tokoh-tokoh yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan presiden tahun 2014 hendaknya tidak terlalu berusia tua dan tidak juga terlampau muda. Tokoh dengan usia di atas 60 tahun dipandang sudah tidak layak maju kembali karena sudah terlampau tua untuk tampil sebagai calon presiden (capres). Sementara itu, capres di bawah usia 45 tahun masih terlampau muda dan minim pengalaman di pemerintahan.
Karena itu, lokomotif gerakan reformasi ini memandang tokoh dengan rentang usia 45-55 tahun (in between) lebih pantas untuk terjun dalam kontestasi pemilihan presiden tahun 2014. Nama-nama seperti Hatta Rajasa, Prabowo Subianto, Sri Mulyani, dan Pramono Anung merupakan representasi dari tokoh-tokoh berusia in between tersebut.
Segera setelah itu, pernyataan Amien Rais ini ramai didiskusikan di ruang publik. Maklum, ia bukan tokoh sembarangan. Bobot politik pernyataan Amien Rais tersebut tidak dapat dipandang remeh. Bahkan, dapat dikatakan memiliki efek politik besar. Bahkan, sejumlah pihak menuding pernyataan Amien Rais itu sebagai bentuk endorsement terselubung terhadap Ketua Umum PAN, Hatta Rajasa, yang masuk kategori capres "in between.” Terlepas dari hal itu, sebagai sebuah wacana usul Amien Rais mengenai usia capres kiranya layak untuk dikaji lebih jauh, terutama jika dikaitkan dengan diskursus kepemimpinan kaum muda.
Secara substantif, istilah kaum muda hendaknya merefleksikan sebuah sikap kejiwaan, tidak hanya sekadar kriteria usia. Sikap kejiwaan itu berupa kebaruan cara pandang guna memutus hubungan dengan masa lalu disertai keberanian memperjuangkan visi perubahan. Rasa keberanian dan kemampuan dalam mengemban visi perubahan itu lebih mungkin tumbuh dalam diri mereka yang tidak memiliki beban masa lalu.
Kaum muda juga diyakini lebih mampu bergerak cepat dan cekatan dalam mengambil inisiatif serta merumuskan kebijakan-kebijakan strategis. Dengan demikian laju pemulihan kehidupan berbangsa dan berbangsa akan lebih terjaga. Karena itu, tidak mengherankan bila kaum muda selalu ada di balik setiap episode penting perjalanan bangsa. Sejarah mencatat dengan tinta emas peran para siswa School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) dalam memelopori pendirian Budi Utomo. Para pemuda dan pelajar bersatu dalam jalinan semangat Sumpah Pemuda. Hal itu mengindikasikan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia memiliki landasan historis kepemimpinan kaum muda yang sangat kuat. Meski pada masa itu bangsa Indonesia berada di bawah kungkungan hegemoni kolonialisme, tetapi masih terdapat ruang bagi tumbuhnya benih-benih ekspresi kemajuan di kalangan kaum muda terdidik. Namun, pascakemerdekaan keadaan itu justru berbalik, terutama pada era Orde Baru. Tokoh-tokoh muda bersuara vokal dikucilkan dari lingkaran kekuasaan. Di bawah rezim represif Orde Baru, Soeharto menjadikan mesin-mesin politik dan pemerintahan bersikap sangat permisif terhadap tenaga-tenaga tua yang dinilai cenderung jauh lebih mudah diajak kompromi. Kehidupan politik bangsa Indonesia berjalan tanpa partisipasi luas kaum muda. Proses regenerasi dihambat secara sistematis dan struktural. Boleh jadi karena hal itu pula hingga kini masih saja muncul para politisi dengan kualitas dan watak masa lalu di dalam langgam politik nasional era reformasi.
Sangat kuat kiranya alasan bagi bangsa Indonesia untuk mempromosikan (kembali) kaum muda di level kepemimpinan nasional. Untuk merealisasikan agenda strategis tersebut, mutlak diperlukan political will kaum tua dan juga strong will kaum muda guna memberikan pembuktian diri.
Para elite partai politik harus menyadari betul urgensi keterlibatan kaum muda. Jika partai politik ingin tetap eksis, maka tuntutan untuk senantiasa melahirkan generasi politik baru sulit dielakkan. Ketergantungan sejumlah partai politik pada figur-figur tertentu sering kali menjadi tembok besar penghalang mobilitas vertikal para politisi muda. Selama ini perhelatan suksesi kepemimpinan di sejumlah partai politik menunjukkan bahwa kehadiran kaum muda sebagai pelaku politik belum teradopsi dengan baik.
Karena itu, dominasi kaum tua dalam struktur politik dan pemerintahan saat ini tentu sangat kontraproduktif dengan agenda strategis untuk mempromosikan (kembali) kaum muda di level kepemimpinan nasional. Penulis adalah Wakil Ketua DPD KNPI Jakarta Selatan Priode 2010-sekarang
|
Category: SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN |
Views: 1040 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|