Site menu |
|
|
Section categories |
|
|
DETIK |
|
|
Statistics |
Total online: 3 Guests: 3 Users: 0 |
|
|
| | |
| Main » 2011 » October » 5 » Ahmad Arif Tragedi Cassa 212 dan Pemerintahan yang Cemen
9:10:20 AM Ahmad Arif Tragedi Cassa 212 dan Pemerintahan yang Cemen |
"Ya Allah….. SBY, di mana perhatianmu kepada kami….?! "Kenapa lama sekali menolong keluarga kami, harusnya mereka masih hidup, mereka itu pasti mati karena kelaparan dan kedinginan, kalau pemerintah cepat pasti tidak begini….”
Kedua nukilan tersebut merupakan teriakan paling dominan di antara deru histeria keluarga para koraban jatuhnya pesawat Cassa 212-200 milik PT Nusantara Buana Air (NBA) di pegunungan Bahorok Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Rabu (29/9/2011). Bangkai pesawat berada di koordinat 0324 utara dan 09801 timur.
Kontroversi Komunikasi
Lambatnya proses penyelamatan evakuasi korban menuai kritik. Seharusnya, saat lokasi pesawat jatuh ditemukan, evakuasi segera dilakukan. Karena, mungkin saja saat itu, masih ada penumpang atau awak yang masih hidup. Tapi itu tidak dilakukan dengan alasan medan yang berat dan cuaca yang tidak bersahabat.
Keluarga korban sempat melakukan protes atas kelambanan ini. Mereka bahkan ada yang mengaku sempat dikontak oleh anggota keluarga mereka. Diduga ada korban yang mengalami luka, namun karena pertolongan tak kunjung datang penumpang pesawat tidak terselamatkan.
Ironi lain dalam tragedi jatuhnya pesawat Cassa 212 tersebut adalah debat dan kontroversi tentang kemungkinan tersambungnya komunikasi antara penumpang dengan keluarga mereka atau sebaliknya. Beberapa televisi swasta nasional sempat mem-blow up berita tentang tersambungnya komunikasi antara penumpang dengan keluarga mereka. Menurut pengakuan pihak keluarga, mereka sempat dua kali terhubung pada hari Kamis sore dan Jumat pagi. Setelah itu, tidak bisa dihubungi kembali.
Syamsidar Yusni (27) sempat menelepon salah seorang kerabatnya di Medan sekira pukul 10.00 WIB. Namun, ucapan pegawai kantor Pajak Kutacane itu tidak bisa diterima Akbar, sang kerabat, dengan baik. Akbar hanya bisa mendengar suara tangisan dan jeritan di sekeliling Syamsidar, hanya beberapa detik. Setelah itu, terputus dan tidak bisa dihubungi kembali (Serambi Indonesia, 30/9/2011).
Namun sayangnya, berita tersebut, khususnya yang di-blow up beberapa stasiun tv, dibantah oleh pemerintah. Herry Bhakti, Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, menampik kabar sempat terjadi hubungan komunikasi para korban yang meminta pertolongan. Menurutnya kondisi di lokasi jatuhnya pesawat sangat sulit ditembus jaringan komunikasi.
Pemerintah Cemen!
Cemen alias cetek mental, itulah kata yang tepat untuk mengilustrasikan sikap dan tindakan pemerintah sebagai regulator dalam menyikapi setiap tragedi transportasi di negeri ini. Ungkapan cemen sering kita jumpai dalam pergaulan remaja; "Ayo temui cewek itu," "Gak ah", "Ih cemen lu itu, gitu aja gak berani" atau "Ah, cemen lo! Masa sama ulet aja takut!”
Secara bahasa, dari petikan dua dialog tersebut kata cemen mengandung dua arti. Pertama, cetek mental, atau penakut tak punya nyali. Kedua, tidak gentle alias penakut. Dalam bahasa inggrisnya sering diungkapkan dengan kata chicken alias pengecut.
Sedangkan kata cetek sendiri - kita telusuri dalam kamus besar bahasa Indonesia versi online - memiliki dua arti juga. Pertama, tidak jauh jaraknya dari permukaan ke dasar (tentang sungai, sumur, dan sejenisnya) alias dangkal atau tohor. Kedua, tidak mendalam (tentang pengetahuan dan sejenisnya).
Cemennya pemerintahlah yang membuat lambannya proses evakuasi korban. Cemen itu yang membuat pemerintah negeri ini selalu gagap dan tidak siap dalam menghadapi berbagai macam tragedi dan bencana. Padalah, jelas-jelas letak negeri ini berada di atas zona bencana. Tapi hal itu sepertinya itu tidak pernah digubris.
Ketidaksiapan itu bisa dilihat pada tiga aspek; sarana, institusi dan operasional. Dari sisi sarana dan prasarana bisa dilihat dari keengganan pemerintah mengalokasikan dana untuk menyiapkan peralatan dan perlengkapan pendukung lainnya. Begitu ada kejadian, baru grabak-grubuk sibuk mencari sarana.
Secara institusi, terlalu sering terjadi over lapping sehingga panjang sekali proses birokrasi yang harus dilalui. Sedangkan pada tataran operasional, kesan yang lebih tertangkap di permukaan adalah lebih kepada cari muka dan ABS (asal babe senang). Dengan kata lain, arogansi institusi masih sangat kental.
Jika sikap cemen tersebut masih membalut pemerintahan Pak Beye, atau pemerintahan lainnya di kemudian hari, maka tragedy demi tragedy akan tetap dan terus menerus menghantui anak negeri.
Solusinya, dibutuhkan sebuah lembaga independen yang lepas dari intervensi pemerintah atau tetek bengek birokrasi lainnya seperti selama ini. Selain itu, juga dibutuhkan orang-orang yang tidak cetek mental alias cemen dalam mengoperasionalkan lembaga independen tersebut.
Ahmad Arif Penulis adalah peminat kajian sosial kemasyarakatan, mantan pengurus pusat IMAPA (ikatan mahasiswa dan pemuda Aceh) Jakarta
|
Category: SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN |
Views: 938 |
Added by: budi
| Rating: 0.0/0 |
| |
| | |
|
Login form |
|
|
KOMENTAR |
|
|
OLAHRAGA |
|
|
Calendar |
|
|
Entries archive |
|
|
BERITA TERKINI |
|
|
|