INI tidak enak didengar publik Inggris, terutama warga Kota London: "Bukan rahasia lagi angka kriminal di London paling tinggi dibanding kota besar di Eropa. Angka anak mudanya yang mengonsumsi alkohol juga paling tinggi.”
Pernyataan ini bukan baru berumur satu-dua hari terkait kerusuhan yang saat ini merebak di sana, tapi terdengar di akhir tahun lalu ketika Inggris tengah berjuang memperebutkan kesempatan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018.
Faktanya, komentar itu memang membakar emosi Inggris. Apalagi, pernyataan ini enak saja meluncur dari mulut Ketua Eksekutif Bidding Rusia, Alexei Sorokin saat dia memberikan persentasi di markas FIFA di Zurich, sekira satu bulan sebelum pemungutan suara pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2018.
Reaksi Inggris saat itu sengit. Para pejabat sepakbola Inggris mengajukan surat keberatan kepada FIFA dan meminta Rusia meminta maaf telah menjelek-jelekan Inggris.
Walikota London, Boris Jhonson bahkan digosipkan sampai menempuh jalur personal untuk meminta Sorokin mengucapkan maaf, guna meredakan kemarahan publik. Namun belakangan Jhonson membantahnya. Alih-alih mendinginkan suasana, dia menambah kompor.
"Sulit dipercaya tim bidding Piala Dunia 2018 Rusia melakukan penghinaan, katakan kepada mereka, angka kriminalitas menurun dan London adalah kota yang paling memiliki toleransi yang tinggi di dunia,” ujarnya di Twitter ketika itu.
Perang urat-syaraf itu toh redup sendirinya dan Rusia menjadi pemenang untuk menggelar Piala Dunia 2018. Sebaliknya Inggris semakin tenggelam dalam kemarahan. Mereka mengalihkan serangan kepada FIFA.
Hampir seluruh elemen di Inggris, mulai jurnalis, hingga parlemen menuding lembaga pimpinan Sepp Blatter itu tidak fair. Ada korupsi dan konspirasi di balik kegagalan Inggris. Sebagian juga menganggap Rusia tidak lebih layak karena problem kriminalitas di sana dengan dunia mafianya lebih buruk dari London.
Sembilan bulan berselang, dari ribut-ribut soal bidding Piala Dunia, tiba-tiba London yang diklaim walikotanya sebagai kota aman, meledak. Api memanggang sejumlah pertokoan dan gedung setelah dipicu insiden penembakan seorang warga oleh polisi. Kota yang dinyanyikan grup The Cangcuters sebagai kota idaman itu pun berubah menyeramkan.
Bukan hanya menimbulkan kerugian materi dan korban jiwa, urusan sepakbola juga jadi berantakan. The Three Lions gagal menjamu De Oranje di Wembley, dan lima laga lain juga batal demi alasan keamanan.Lebih buruk lagi, Premier League terancam ditunda.
CEO Formula One yang juga Bos klub promosi Queens Park Rangers, Bernie Ecclestone memaksa Premier League digelar sesuai jadwal. Karena ini menyangkut nama baik Inggris terutama London. Jika penundaan terjadi, itu sama artinya dengan mengirim pesan yang akan menimbulkan efek menghancurkan kepercayaan dunia.
Pendirian Ecclestone bisa dipahami. Inggris tentu harus hati-hati mengelola dampak dari kerusuhan yang sejauh ini sudah menewaskan 3 warga dan ratusan bangunan hangus. Dunia terlanjur menyaksikan bagaimana warga London mempertontonkan aksi rasial dengan menghajar seorang mahasiswa Malaysia ketika bersepeda, di tengah kerusuhan; Penjarahan secara vulgar yang dilakukan pemuda-pemudi London sehingga polisi menangkap 800 lebih pelaku.
Pada 2012 nanti, London menjadi tuan rumah Olimpiade, event olahraga yang tidak kalah akbar dari Piala Dunia. London tentu harus bisa segera mengembalikan citra sebagai kota yang aman dan terbaik di dunia. Jika hajatan itu ingin sukses.
Sepakbola Inggris juga harus diselamatkan karena jutaan pasang mata di seantero dunia sudah menanti Premier League bergulir. Penundaan, tentu bukan promosi yang elok bagi kompetisi yang tahun lalu melahirkan Manchester United sebagai pemegang rekor juara ke19 kalinya di kompetisi itu. Bukan tidak mungkin, La Liga dan Serie A bisa saja memanfaatkan kesempatan ini untuk menggeser perlahan-lahan pamor Premier League di dunia terutama Asia.
Belum terlambat, meski Sorokin mungkin sudah terlanjur tersenyum menyaksikan keberutalan bocah-bocah London melalui televisi, sambil bicara dalam hati. "Gue bilang juga apa...?!” (fit)
|