Foto : dok.pribadi AKSI peledakan bom di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Kepunton, Kota Solo, Jawa Tengah, Minggu 25 September lalu menjadikan Kota Solo kembali menjadi sorotan publik. Kota yang dikenal damai dan masyarakatnya penuh kelembutan tiba-tiba bergolak. Jutaan pasang mata penduduk Indonesia "diajak” melihat tontonan mengerikan. Teroris kembali mengeluarkan pesan, Indonesia, khususnya Solo bukan wilayah aman ancaman teror. Puluhan jamaah gereja berlarian menyelamatkan diri agar tidak menjadi korban. Tapi musibah tidak dapat terhindarkan, puluhan orang terluka. Satu di antaranya dikabarkan meninggal dan diduga kuat sebagai pelaku peledakan. Indonesia menangis, Ibu Pertiwi kembali berduka. Kejadian bom Solo semakin menambah daftar panjang deretan aksi teror di Indonesia. Sebuah parade kekerasan yang seolah tidak berujung. Tidak heran, banyak kalangan menilai terorisme belum "mati”, masih subur bersemi dan meledakkan potensinya setiap saat. Masyarakat diminta waspada atas teror bertajuk bom bunuh diri yang kadang dilabeli sumbu "jihad”. Terorisme : Agama versus Pesan Politik Maraknya kegiatan pengeboman di Indonesia menegaskan ancaman terorisme masih sulit dihilangkan dari bumi Indonesia. Kematian Noordin M Top dan Dr Azhari belum dapat memutuskan akar pergerakan pelaku teror. Mereka masih banyak berkeliaran menyebarkan jaringan dan pola yang semakin variatif. Sasaran ledakan terus berpindah tempat, kadang menyerang hotel berbintang yang dianggap pro asing. Dalam kesempatan lain, berfokus menyerang tempat peribadahan kelompok agama tertentu. Mengendus pergerakan terorisme sangat sulit dipisahkan dari rekayasa politik berbaju pesan keagamaan. Hampir semua teror bom selalu mengarah kepada satu kepentingan dan kelompok keagamaan tertentu. Dalam banyak kasus bom bunuh diri, tidak hanya membawa pesan keamanan Indonesia yang terancam. Seringkali ledakan isu bom lebih dipahami sebagai provokasi untuk merusak kedamaian antar pemeluk agama di Indonesia. Pertama, dalam kasus bom di Masjid Polri misalnya. Pascaterjadi ledakan pihak keamanan bergerak menangkap tokoh Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Ustadz Abu Bakar Baasyir. Penangkapan yang membuat aktivis Islam mendapatkan kesan buruk dan stigma negatif. Pesan serupa terulang, pasca Bom Solo kembali kelompok Islam mendapat tudingan buruk. Tapi anehnya, meski terus mendapatkan tekanan dan tuduhan sebagai pelaku teror belum ada satu bukti yang cukup dan jelas untuk menghukum aktivis Islam. Selama ini pihak keamanan hanya mengeluarkan dugaan dan terbatas memeriksa saksi. Akibatnya perlu dipertanyakan kembali kebiasaan mengalamatkan kegiatan teror kepada aktivis Islam. Kedua, adanya bom bunuh diri di Solo memberikan pesan politik. Aktivitas terorisme salah satunya bertujuan memperkeruh situasi keamanan Tanah Air yang mulai kondusif pascakerusuhan Ambon. Berbagai teror bom seperti diarahkan untuk membuat masyarakat cemas. Pada titik ini menjadi kesempatan pemerintah turun gunung menebarkan politik pencitraan dengan menenangkan rakyat. Apalagi, kondisi bom Solo terjadi ketika publik sibuk melihat "ending” sinetron korupsi Nazaruddin dan ramainya pemberitaan reshuffle menteri yang kinerjanya dinilai buruk. Ketiga, Indonesia belum aman dari ancaman terorisme. Melalui bom Solo, gerakan terorisme ingin menunjukkan bukti eksistensi di tengah tekanan pemerintah dan dunia internasional. Kematian tokoh terorisme tidak menyurutkan upaya menebarkan aksi kekerasan. Tempat strategis diarahkan sebagai sasaran sehingga media bersedia meliput aksi mereka. Jaringan terorisme juga semakin bergerak variatif menyerang pusat keagamaan. Jika sebelumnya menyerang masjid Polri sebagai simbol umat Islam, sekarang pelaku teror menyerang gereja sebagai lambang keagamaan ibadah kaum Nasrani. Kekerasan bertajuk terorisme jelas merupakan sebuah ancaman serius bagi stabilitas keamanan dalam negeri dan internasional. Ekonomi Indonesia mendapat guncangan besar yang jika dibiarkan akan membuat investor melarikan diri. Secara sosial, terorisme dapat menebarkan ketakutan di masyarakat. Tekanan psikologis muncul sehingga meninggalkan rasa takut teror bom terus bersemi di Indonesia. Masyarakat terbiasakan mudah panik dan terus diwarnai rasa apatisme atas keamanan dalam melakukan aktivitas. Stop Teror Bom Untuk itu, kita berharap kebiasaan pelaku teror yang sering membawa isu jihad perlu mendapatkan kembali bimbingan keagamaan. Sebab, semua agama mengutuk keras tindakan kekerasan yang dilakukan penganutnya. Dalam konteks ini pemerintah, tokoh agama, masyarakat, dan kepolisian harus bekerja kolektif menangkal deradikalisasi dan deideologisasi. Tindakan hukum kepada pelaku teror dan upaya memutus mata rantai terorisme seharusnya menjadi prioritas. Jangan sampai, negara meninggalkan kesan pembiaran sehingga pelanggaran teror bom terus terjadi. Pendidikan keagamaan seharusnya menjadi prioritas utama menangkal upaya terorisme. Pesantren, kampus, dan sekolah (PKS) bisa menjadi garda terdepan sehingga makna jihad tidak terdistorsi. Kepolisian juga diharapkan menghentikan kebiasaan mengaitkan terorisme dengan agama tertentu. Sebab kondisi itu bukan sebuah solusi, justru menambah masalah dan melahirkan budaya saling curiga antar pemeluk agama. Inggar Saputra Pengurus Pusat KAMMI dan peneliti Institute For Reform Sustainable (//rhs)
|