Main
 
BUDI SANTOSOThursday, 12.12.2024, 5:09:20 AM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
SERIAL NUMBER/CRACK SOFTWARE
SERIAL NUMBER/CRACK SOFTWARE
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
Berita Teknologi
berita tentang komputer
Kesehatan
Agama
Artikel tentang Agama
Olahraga
Olahraga
OTOMOTIF
OTOMOTIF
Entertainment
Entertainment
Informasi Umum
Informasi Umum
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
KULINER
SERBA-SERBI KULINER
GADGET
KOMPUTER/HP

DETIK

Statistics

Total online: 5
Guests: 5
Users: 0

Main » Articles » Agama

ZAKAT IMPLIKASINYA PADA PEMERATAAN
V.33. ZAKAT IMPLIKASINYA PADA PEMERATAAN (1/2)

Oleh A. Rahman Zainuddin

Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah suatu konsep
yang berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh
aspek dan segi kehidupan manusia. Dapat dikatakan bahwa
seluruh ajaran Islam telah direkayasa untuk menciptakan suatu
kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal kepercayaannya,
pemikirannya, dan juga tingkah lakunya. Pembersihan dan
pemurnian dasar-dasar pemikiran dan titik tolak dalam hidup
terjelma dengan jelas dalam rukun iman yang enam. Sebelum
segala sesuatunya, manusia harus mempunyai titik tolak
keimanan yang bersih dalam hidup ini.

Berdasarkan pemikiran tersebut maka kepercayaan pada Allah,
Tuhan Yang Maha Esa, adalah pemurnian kepercayaan par
excellence. Dengan kepercayaan itu manusia mendapatkan makna
yang baru dan dimensi yang lebih dalam tentang ikatan yang
dimilikinya dalam alam semesta ini. Tauhid adalah proses
pembebasan manusia yang tiada tara. Proses ini mencakup segala
hubungan yang ada, seperti hubungan antara manusia dengan
dirinya, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia
dengan alam semesta, yang merupakan lokus sementara baginya
dalam kehidupan duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali
hubungan itu telah mendapatkan unsur transendensinya. Segala
hubungan itu dibangun kembali, sesuai dengan kaidah-kaidah
yang telah ditentukan Tuhan.

Dengan petunjuk dan iradah-Nya pulalah ditentukan bahwa
manusia diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot yang
telah diprogramkan sampai pada perincian-perinciannya, tapi
suatu makhluk yang telah diberi kemampuan menentukan nasibnya
sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia telah
berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan
seimbang dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.

Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan
jembatan yang terdapat antara bumi dan langit, dan dengan
demikian manusia menjadi sadar akan satunya dunia yang
terlihat dengan dunia yang tak terlihat. Dan antara kedua
dunia itu terdapat saluran komunikasi yang berbentuk para
rasul itu. Kepercayaan pada buku-buku suci adalah kepercayaan
bahwa komunikasi yang telah terjadi itu direkam untuk
kepentingan umat manusia. Tapi sayang sekali bahwa manusia,
dalam pandangan Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam
arti yang sesungguhnya dalam masalah rekaman komunikasi antara
langit dan bumi itu, sehingga dalam kepercayaan orang Islam,
dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang terdahulu
telah mengalami kerancuan karena campur-tangan manusia dalam
bentuk yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah
memperoleh jaminan Tuhan untuk diperlihara kemurniannya sampai
hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran seperti telah dialami
buku-buku suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang
merupakan koreksi total dan terakhir segala buku suci yang
terdapat sebelumnya.

Kepercayaan pada para malaikat adalah kepercayaan yang
mengajarkan pada manusia bahwa apa yang ada itu bukanlah apa
yang mereka raba, lihat dan rasakan saja. Di balik eksistensi
alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain, yaitu alam
malakut, yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang
rendah) yang diindrai manusia ini. Sekaligus kepercayaan
tersebut merupakan peringatan bagi manusia, bahwa kemampuan
rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan eksistensi
yang relatif kecil sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa
yang tersebut dalam al-Qur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan kamu
tak mengetahui" (QS. al-Baqarah: 232; 'Ali Imran: 66; dan
al-Nahl: 74).

Kepercayaan terhadap hari akhirat, di samping mengantarkan
manusia ke alam yang belum pernah mereka alami, juga
menyadarkan mereka bahwa kehidupan dunia ini bukanlah suatu
kehidupan tanpa arti dan makna, yang hanya akan berakhir
apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini
adalah suatu kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan
penuh keseriusan pula, karena ia merupakan babak pendahuluan
yang pendek bagi suatu kehidupan lain yang jauh lebih kekal
dan lebih abadi. Jenis kehidupan akhirat yang akan ditemui
manusia nanti, ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan
dunia ini. Kehidupan akhirat itulah yang lebih baik dan lebih
kekal (QS. al-A'la: 17). Di samping itu, kepercayaan akan
kehidupan akhirat meminta manusia hidup dalam suasana yang
penuh tanggung jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya
akan diperlihatkan kepadanya nanti, dan akan diminta
pertanggungjawabannya. Malah perilaku manusia ini nanti akan
disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan seluruh orang-orang yang
beriman (QS al-Taubah: 94,105).

Kepercayaan pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik
juga merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan lemahnya
manusia sebagai suatu eksistensi, terlepas dari kemandiriannya
dan kebebasannya dalam beribadah dan mengubah hidupnya sesuai
dengan keinginannya, ia adalah makhluk yang penuh
ketergantungan terhadap faktor-faktor yang dapat dikatakan
seluruhnya berada di luar pengendaliannya.

Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia
telah berada dalam kondisi sebaik-baiknya untuk mengarungi
alam tindakan, atau alam praktis, yang terlambang dalam lima
rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat dan ibadah
haji. Syahadat adalah pernyataan kebulatan tekad untuk
menyatukan bumi dan langit dalam diri kita, dengan mengakui
tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu pesuruh Allah.
Shalat selain merupakan mi'rajnya orang-orang yang beriman,
juga memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek
memupuk kehidupan sosial dalam masyarakat, yang juga
menggalakkan kepatuhan pada pimpinan, tanpa menghilangkan hak
kontrol sosial dan hak menegur dalam setiap tahap dari
pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk
rasa solidaritas sesama manusia, selain dari kepatuhan pada
Tuhan, terjelma dalam ibadah puasa. Sedangkan manifestasi dan
pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini tampak
dalam zakat yang membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam
haji terlihat aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek
kehidupan internasional, aspek pengorbanan, aspek pernyataan
hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, secara sepintas lalu telah tampak bagaimana
rukun iman dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu
kehidupan dunia yang lebih bermakna, sebagai pendahuluan bagi
manusia dalam menuju kehidupan akhirat yang "lebih baik dan
lebih kekal." Dengan kedua rukun itu, kehidupan manusia
diharapkan menjadi bersih dan transendental, baik dalam
dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam prakteknya.

BERBAGAI PANDANGAN TENTANG ZAKAT

Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang sejarah
Islam. Baik buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu,
maupun buku-buku yang lebih baru dan lebih modern, semuanya
mempelajari zakat. Dalam buku-buku lama, yang dipelajari
biasanya pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah,
dasar-dasar yang mewajibkannya, siapa saja yang memikul
kewajiban ini, jenis harta mana saja yang wajib dizakatkan,
syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu, dan yang
terakhir siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat tersebut.
Pendapat-pendapat para ulama dalam hal ini pada umumoya sama,
kecuali perbedaan pendapat dalam perincian-perinciannya
(mushali dan samarqandi).

Tulisan-tulisan modern di dunia Arab yang diperhatikan dalam
tulisan ini adalah Shalih, Sabiq dan Thabbarah, di samping
penulis-penulis lain, seperti Mubarak, Tawati, Salamah, Affar
dan lain-lain. Para ulama muda Indonesia, yang berusaha
menegakkan ajaran Islam seutuhnya di negeri ini juga tak
kurang jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan Mas'udi dan
Kuntowijoyo. Seringkali juga terdengar di Indonesia pendapat
yang lebih memandang bahwa zakat itu suatu jenis pajak
(Mas'udi,1991).

Para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem
ekonomi yang dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama
sekali bebas sepenuhnya dari semua sistem yang terdapat di
dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini terambil
dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan
Rasulullah saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau
masih hidup (Shalih 1965, 354). Zakat merupakan pendapatan
utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti pajak
tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan
lain-lain (Shalih 1965, 354-355).

Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang
dikeluarkan karena perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir
miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah salah satu rukun Islam,
yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan
bersama-sama dengan shalat. Kewajiban zakat itu dibuktikan
dengan adanya ayat al-Qur'an mengenai hal itu, dengan adanya
hadits Nabi saw., dan dengan adanya suatu kewajiban agama
(Sabig 73, 286).

Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan
dan pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an
(QS. al-Taubah: 103). Zakat dimaksudkan untuk membersihkan
harta benda orang lain yang dengan sengaja atau tak sengaja
telah termasuk ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan
harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta
benda yang kita peroleh karena persaingan yang tak pantas,
karena kelicikan dan lain-lain sebagainya. Akibatnya banyak
orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu.
Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena
tak memiliki keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam
penderitaan mereka. Untuk membersihkan harta benda daripada
kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka zakat dibayarkan.

Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak
fakir miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda
kita, maka terjadilah suatu sirkulasi uang dalam masyarakat
yang mengakibatkan bertambah berkembangnya fungsi uang itu
dalam masyarakat. Di belakang pendapat tersebut terdapat
asumsi, seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103),
bahwa harta benda itu selalu beredar di antara penguasa dan
rakyat. Ia menganggap negara dan pemerintahan itu sebagai
suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (al-suq
ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat
al-'umran). Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa
menahan harta benda dalam bentuk pajak yang telah
dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang yang
beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan
pendapatan rakyat akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat
itu merupakan kalangan terbanyak umat manusia ini. Gejala ini
menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi
lebih sedikit pula. Pada akhirnya yang akan menderita kerugian
adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar yang terbesar
maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya
harta benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan
dalam sirkulasi ini, maka semua pihak, termasuk pemerintah
sendiri dirugikan. Jadi harta benda itu selalu bolak-balik
antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan
pertumbuhan itu satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat.
Karena itu harta yang wajib dizakatkan hanya dua macam, yaitu
yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman,
serta harta perdagangan.

Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan
turunnya Islam, tapi ketika itu kewajiban tersebut baru
bersifat umum saja, dan belum mencakup perincian-perinciannya,
baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan
berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal
itu diserahkan pada perasaan dan kebaikan hati orang Islam
saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah, menurut pendapat
yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam
bentuk yang lebih terperinci (Shalih, 276-277).

-------------------------------------------- (bersambung 2/2)
Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Category: Agama | Added by: budi (04.08.2011)
Views: 942 | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024