MASJID Kotagede merupakan salah satu masjid tertua Yogyakarta. Masjid yang didirikan oleh Raja Mataram Sultan Agung itu diperkirakan berdiri pada pertengahan abad 17 M, sekitar tahun 1640. Sehingga kini masjid itu berusia lebih dari 350 tahun. Beberapa masjid tua lainnya setelah masa pemerintahan Senopati yang sampai saat ini masih ditemukan adalah Masjid Sultoni Wotgaleh Berbah, Masjid Pajimatan Imogiri yang didirikan Sultan Agung dan Masjid Giriloyo makan Sunan Cirebon. Pembangunan Masjid Kotagede pada tahun 1640 atau saat Sultan Agung bertahta bersamaan dengan pembangunan kompleks makam Imogiri. Masjid Kotagede sampai saat ini juga sering didatangi para peziarah. Pada bulan puasa, masjid ini juga menjadi salah satu tempat favorit umat Islam yang ingin menjalankan itikaf. Salah satu kegiatan yang unik di masjid ini antara lain salat tarawih berjamaah pada pukul 24.00 WIB. Untuk menuju Masjid Kotagede, sangatlah mudah. Letaknya tidak jauh dari Pasar Kotagede dan kawasan Ngeksigondo yang merupakan pusat kerajinan perak. Selain masjid, di kompleks tersebut juga terdapat makam pendiri Dinasti Mataram, Panembahan Senopati dan ayahnya Ki Juru Pemanahan beserta keluarganya. Di tempat itu juga terdapat pemandian yang disebut Sendang Selirang. Jalan masuk kompleks masjid bisa melalui pintu depan dan gerbang atau gapura yang berbentuk paduraksa yang terbuat dari batu bata. Selain itu juga bisa melewati pintu gerbang bagian utara, lewat kampung Kudusan. Ketika masuk gapura paduraksa kita tidak bisa melihat langsung masjid lantaran terhalang tembok sehingga mengharuskan pengunjung berbelok ke kanan lebih dulu. Gapura Paduraksa ini merupakan wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang saat ini masih banyak yang memeluk agama Hindu dan Budha. Bangunan Masjid Kotagede mengalami dua kali tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid dengan model limasan atap tumpang dengan empat saka guru. Semua kayu yang digunakan adalah kayu jati. Luas masjid utama hanya sekitar 100-an meter persegi. Sedangkan pembangunan tahap kedua dilakukan oleh Sunan Paku Buwono X dengan memperluas bangunan serambi masjid bagian depan. Luas masjid beserta halaman lebih kurang 1.000 meter persegi. Seperti halnya masjid kuno di Jawa, masjid ini juga dilengkapi kolam yang mengelilinginya. Kolam ini dimaksudkan sebagai sarana penyucian diri dari segala kotoran sebelum masuk masjid. Di serambi masjid sampai saat ini masih terdapat sebuah bedug tua dan kentongan. Bedug yang usianya ratusan tahun itu merupakan hadiah seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari Desa Dondong, wilayah di Adikarto atau Kulon Progo sekarang ini. Atas jasanya memberikan bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian dinamai kampung Dondongan. Bedug dan kentongan tersebut sampai sekarang masih dibunyikan sebagai penanda waktu salat. Di atas pintu masjid juga terdapat ukiran kaligrafi. Tembok sekeliling bangunan baik masjid hingga kompleks makam Panembahan Senopati dan Ki Ageng Pemanahan dan keluarga lainya terbuat dari tembok batu bata. Selama bulan puasa, Masjid Kotagede selalu ramai dengan berbagai kegiatan mulai dari pengajian, kajian hadis, TPA hingga tadarus. DTC/L-1 |