Main
 
BUDI SANTOSOSunday, 19.05.2024, 6:16:26 AM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
SERIAL NUMBER/CRACK SOFTWARE
SERIAL NUMBER/CRACK SOFTWARE
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
Berita Teknologi
berita tentang komputer
Kesehatan
Agama
Artikel tentang Agama
Olahraga
Olahraga
OTOMOTIF
OTOMOTIF
Entertainment
Entertainment
Informasi Umum
Informasi Umum
PENDIDIKAN
PENDIDIKAN UMUM
KULINER
SERBA-SERBI KULINER
GADGET
KOMPUTER/HP

DETIK

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » Articles » Agama

DUA JALAN, DUA TUJUAN, NAMUN TEMAN YANG SEPERTI APA?


Bukankah kami telah memberinya sepasang mata...dan menunjukkan kepadanya dua jalan.(QS. Al-Balad, (90):8,10)



Semua manusia mencari teman sejati.
Mereka mencari orang untuk berbagi kebahagiaandengan mereka, orang
yangbersediamembantu di saat mereka mengalami kesulitan, yang
menunjukkan jalan keluar pada merekaketika mereka tidak sanggup
menemukan apapun,yang bersedia mencintai mereka di setiap keadaan, yang
setia, melindungi,menyikapikesalahan-kesalahan yang mereka perbuat
dengan lemah lembut, danyang tidak akan meninggalkan mereka baik ketika
mereka sedangsakit,sehat maupun ketika telah mencapai usia tua.



Akan
tetapi, terdapat dua jalan yang dapat dipilih seseorang dalam
mendapatkan teman yang demikian. Yang pertama adalah jalan dari Yang
Pengasih, sebuah ketetapan nilai moral (akhlâq) Al-Qur’ân yang dipilih oleh mmu’minkarena ridhâ
Allah. Sedangkan jalan yanglainadalah cara berteman yang didasari pada
kepentingan dan keuntungan duniawi. Dalam artikel ini, kita akan melihat
alasan-alasan yang mendasari dua kepentingan tersebut, menjelaskan
perbedaan-perbedaan antara ikatan pertemanan yang kuat diantara
mu’mindan non mu’minyang hanya didasarkan pada kepentingan duniawi.



Pertemanan yang menambatkan kepentingan pada nilai moral: agar menjadi teman yang sejati, seseorang harus mencintai orang lain semata-matademi nilai moral yang sepantasnya. Inilah sebuah bentuk ketakutan dan kecintaan, keyakinan, keikhlasan, dan ketaqwaan seseorang kepada Allah. Di atas nilai luhur inilah pertemanan itu kekal dan akan mencapai karakter yang kuat.



Pertemanan yang abadi: tak dapat dipungkiri bahwa teman sejatidimana
setiap orangmerasa membutuhkan dan mencarinya merupakan sebuahanugrah
yang sangat besar. Teman sejati adalah seseorang yang akan hadir baik
disaatsenangmaupun susah, yang mengharapkan hal yang sama untuk temannya
sebagaimana yang ia harapkan untuk dirinya, yang menginginkan temannya
merasa bahagiaseperti halnya yang ia inginkan untuk dirinya. Dialah
orang yang menghindari perasaan-perasaanseperti iri; intoleran; dan
permusuhan;yang mencintai orang lain dengan tulus dan selalu
menginginkan yang terbaik untuknya.



Pertemanan yang diarahkan pada hari akhirat:
prasyarat menjadi teman yang sejati adalah dengan mengarahkan
kebahagiaan orang lain di dunia maupun di akhirat. Satu sifat penting
dari pertemanan ini adalah berkata dengan jujur dan terbuka, memberitahu
kekeliruan keyakinan orang lain, dan dengan penuh kasih sayang
menunjukkan cara untuk memperbaikinya. Hanya teman sejati yang
benar-benar mencintai orang lainlah yang dapat melakukan ini.



Pertemanan yang didasari rasa cinta dan hormat:
di sebuah lingkungan di mana orang hidup dengan moralitas Qur’âni,
serta takut dan yakin pada Allah adalah nilai-nilai yang dengannya orang
dapat benar-benar merasakan cinta dan hormat terhadap sesama. Cinta,
kepercayaan dan kesetiaan yang dirasakan orang mu’min terhadap sesama
dibentuk sepenuhnya menurut ikhtiar yang mereka lakukan di jalan Allah.
Seorang mu’min yang menggunakan apa yang dimilikinya untuk kebaikan
hanya karena ridha Allah dan menjalankannya dengan teguh, maka ia akan
mendapatkan cinta saudara-saudara Muslim dan ia telah membuat contoh
yang baik bagi saudara-saudaranya. Kesetiaan yang kuat di antara mereka
akan meningkatkan cinta, pengabdian, dan kepercayaan yangmereka
rasakansatu sama lain. Oleh karena itu, jika pertemanan dan kedekatan
itu dibangun diatas ketakutan dan keyakinan orang pada Allah dan berada
pada moral yang tepat, maka perubahan fisik–yang disebabkan oleh
penyakit atau usiatidak akan mempengaruhinya. Sebaliknya, justru kasih
dan sayangyang lebih besarlah yang akan dirasakan orang mu’min.



Pertemanan yang didasari kejujuran: kejujuran yang disertai ketulusan dan keikhlasan bermakna apa yang ada di luar diri seseorang (zhâhir) sama seperti apa yang ada di dalam dirinya (bâthin),
sebuah cerminan dari apa yang ia rasakan dan alami di dalam hatinya.
Maksudnya adalah berlaku ikhlas, terbuka dan jujur, mengungkapkan
karakter seseorang yang sesungguhnya tanpa menyembunyikan pikiran dan
perasaan yang sebenarnya, tidak menghitung apa yang telah diperbuat,
atau mencoba tampil beda dari apa yang sebelumnya. Menurut nilai moral
Al-Qur’ân, seseorang itu bernilai karena upaya untuk meningkatkan
kejujurannya, dan teman serta orang-orang tercintanya mencintainya
karena mereka tahu bahwa ia ia tulus terhadap mereka.



"Temanmu
(penolongmu) hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang yang beriman,
yang melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, seraya tunduk (pada
Allah).
” (QS. Al-Mâ’idah, (5):55)



Pertemanan yang diganjari kesendirian:
hal ini terjadi pada orang-orang karena mereka gagal memetik nilai
moral dalam Al-Qur’ân atau pedoman mereka, sehingga–meskipun mereka
merindukannya–mereka tidak pernah dapat menemukan teman sejati. Itulah
sebabnya seringkali mereka berkata "saya sangat kesepian,” "saya tidak memiliki teman di dunia ini,” atau "mereka telah meninggalkanku sendiri, jadi mereka hanyalah teman sesaat.”



Pertemanan yang berdasarkan pada kedudukan dan martabat:
pertemanan yang dibangun di atas nilai-nilai seperti kekayaan,
keindahan penampilan, martabat, dan kedudukan atau status sosial tidak
akan pernah bertahan lama. Karena kelak terdapat perubahan pada
nilai-nilai tersebut, sehingga pertemanan pun berakhir. Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki cara pandang demikian, kemudian ia mau berteman
dengan seseorang karena ia begitu menarik dan mengesankan, secepatnya
akan kehilangan hal tersebut ketika mereka–misalnya–cacat sehingga tak
dapat dikenal, miskin, dan tak berdaya karena sebuah musibah.



Pertemanan yang didasari persaingan:
orang yang memandang orang lain sebagai pesaing atau musuh, biasanya
hanya mengatakan kesalahan-kesalahan orang lain. Karena biasanya mereka
tidak ingin orang lain lebih baik dari dirinya, atau bahkan jika melihat
ada kekurangan, mereka akan bersikap tidak jujur, tanpa khawatir hal
ini akan merusak pertemanan, dan berkata, seperti, "kau orang yang sangat baik,” atau "kami mencintaimu apa adanya.”



Pertemanan yang didasari kepentingan diri sendiri:
orang yang hidup mengikuti kepentingan diri sendiri banyak mengalami
fluktuasi psikologis selama masa hidupnya. Ia mungkin akan memudarkan
keatraktifannya, jiwa mudanya, kesehatannya, dan kekayaannya. Ia melihat
bahwa orang-orang yang pernah dibayangkan menjadi temannya ternyata
tidak begitu memberikan arti ketika ia mulai lemah dan menua. Mereka,
yang semula begitu dekat dan janji saling setia di saat-saat senang,
menjadi begitu jauh sehingga tidak ingin lagi saling bicara atau bahkan
mengenal satu sama lain. Mereka menganggap tidak ada lagi yang perlu
dibagi, yang harus memberi nasihat, yang dapat dijadikan tempat untuk
meminta pertolongan atau menaruh kepercayaan. Ia baru menyadari bahwa
mereka yang ia anggap sebagai teman terdekat saya, ternyata meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan pertemanan mereka.



Pertemanan yang dikuasai oleh kegelisahan: mustahil bagi orang yang tidak hidup di atas nilai moral (akhlâq)
Al-Qur’ân dapat merasakan cinta sejati, hormat atau percaya terhadap
sesama–yang di saat bersamaan–merisaukan kekurangan atau kelemahan moral
masing-masing. Mustahil dapat benar-benar mencintai dan menghormati
seseorang apabila ia mengetahui bahwa mereka itu berbohong dan munafik,
memanfaatkan orang lain demi kepentingan mereka sendiri. Seseorang akan
sadar bahwa meskipun ia berkata dialah teman terdekat mereka, ia
sebenarnya bersikap dengan cara yang sama terhadapnya juga.



"Dan
(ingatlah) hari ketika orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya
berkata: "wahai kiranya dulu aku mengambil jalan bersama-sama Rasul!
Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan
itu teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari
al-Qur’ân setelah al-Qur’ân itu datang padaku. Dan adalah syaitan itu
tidak mau menolong manusia.”
(QS. Al-Furqan, (25):27-29)

Category: Agama | Added by: budi (29.08.2011)
Views: 733 | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024