Main
 
BUDI SANTOSOFriday, 26.04.2024, 12:28:47 PM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
BERITA SERBA SERBI
BERITA UMUM
BERITA UNIK,LUCU DAN ANEH
BERITA YANG UNIK DAN YANG ANEH
EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI DAN BISNIS
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
BERITA SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
MP3
Kumpulan MP3
SENI DAN BUDAYA
SENI DAN BUDAYA
GAME
KATA - KATA MUTIARA
FILM
PUISI DAN PANTUN

DETIK

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » 2011 » September » 19 » Komaruddin Hidayat Deprivatisasi Agama
10:26:03 AM
Komaruddin Hidayat Deprivatisasi Agama











Dalam masyarakat Barat, sejak dekade 1980-an, agama tampil
begitu mencolok ke dalam ranah sosial dan panggung politik serta
memperoleh publikasi besar-besaran.

Fenomena ini menyalahi
ramalan dan teori pendukung fanatik sekularisme. Puncaknya pada
peristiwa 9/11 yang menghancurkan Menara Kembar New York, simbol
keunggulan Amerika Serikat. Revolusi Islam di Iran, gerakan solidaritas
di Polandia, gerakan revolusioner Sandinista di Amerika Latin, dan
fundamentalisme Protestan di Amerika Serikat kesemuanya merupakan
gerakan keagamaan yang mengusung agenda sosial dan politik.

Dengan
demikian, teori seputar sekularisme dan sekularisasi telah
dipertanyakan validitasnya oleh berbagai ilmuwan sosial. Peristiwa 9/11
bagaikan pengguntingan pita sejarah akan kembalinya peran dan isu agama
dalam panggung politik global dengan berbagai implikasinya.

Selama
10 tahun terakhir sejak 2001, belanja Pemerintah AS untuk berperang
melawan apa yang mereka sebut sebagai pusat jaringan terorisme agama di
Afghanistan dan Irak mencapai lebih dari USD2 triliun. Akibat perang
melawan terorisme, AS tidak saja terbelit utang besar yang tak
terbayangkan sebelumnya, tapi juga krisis kredibilitas di tingkat dunia.


Di mata Bush dan konco-konconya, agama (Islam) dipandang
sebagai wajah yang seram dan mengundang kebencian serta sumpah serapah.
Tetapi, sungguh di luar dugaan, sejak revolusi Iran pada 1979 dan
disambung lagi dengan peristiwa 9/11, berbagai kajian dan seminar
tentang Islam di universitas Barat semakin berkembang.

Masyarakat
dunia tidak serta merta sepakat bahwa Islam adalah agama teroris.
Hampir semua universitas unggulan di sana memiliki program studi Islam
yang diasuh oleh berbagai profesor ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Pengamat dan penulis kenamaan semacam Karen Amstrong menjadi salah satu
jembatan dialog intelektual Barat dan Islam.

Anggapan dan
kebijakan negara bahwa agama merupakan urusan pribadi atau private tidak
lagi valid sepenuhnya. Yang justru terjadi adalah deprivatisasi agama.
Secara langsung atau tidak langsung, sekian banyak negara yang mengaku
sekuler telah membelanjakan uangnya untuk mengurusi agama.

Proses
demokratisasi yang berlangsung di dunia Islam pun justru didorong oleh
spirit dan tokoh-tokoh agama. Terlebih di Indonesia, agama memiliki
posisi politik yang besar baik dalam tubuh birokrasi pemerintahan maupun
di ruang publik. Gairah dan aktivitas beragama sangat mencolok.

Hanya
saja, selalu menjadi pertanyaan, mengapa aset keagamaan ini sangat
kecil dampaknya bagi perbaikan etika politik dan sosial. Agama lalu
memiliki tiga kaki yang sama-sama kokohnya, yaitu pada wilayah komunal,
wilayah publik, dan wilayah birokrasi negara. Di Indonesia simbol dan
agenda keagamaan secara resmi masuk Istana. Bahkan terdapat departemen
yang mengurus agama.

Sekarang bermunculan perda-perda syariah
meski menjadi bahan perdebatan. Posisi agama yang bermula dari wilayah
pribadi lalu bergerak ke wilayah komunal, publik, dan negara ikut
memperkuat tren deprivatisasi agama. Yang perlu dicermati adalah ketika
etos agama yang mestinya berlaku di wilayah komunal lalu diterapkan pada
wilayah politik atau publik.

Misalnya, tradisi saling memaafkan
dan mengasihi itu sangat mulia diberlakukan pada ranah komunal. Tetapi
ketika itu diberlakukan secara keliru dalam ranah publik dan kehidupan
bernegara, akan memperlemah gerakan pemberantasan korupsi ketika yang
melakukan itu teman dekat seiman dan segolongan.

Menolong teman
seiman itu memang sangat dianjurkan Tuhan. Tetapi, kalau masuk ke
wilayah birokrasi, itu akan menggerogoti prinsip profesionalisme serta
meritokrasi dan yang kemudian muncul adalah budaya koncoisme yang
membuat busuk birokrasi dengan pembenaran persahabatan seiman.

Dalam
masyarakat Barat yang tadinya menganut paham sekuler pun mengalami
problem bagaimana memosisikan agama ketika agama tidak lagi dibatasi
dalam wilayah privat. Negara lalu ikut mengatur soal jilbab bagi warga
negaranya. Negara ikut mengontrol pertumbuhan rumah-rumah ibadah,
termasuk pengeras suara di masjid.

Negara mengeluarkan dana
riset untuk memahami dan memantau perkembangan agama. Negara mesti
mencetak sarjana ahli agama untuk diperbantukan dalam Departemen Luar
Negeri dan Departemen Perdagangan. Ini semua menunjukkan bahwa agama
sekarang ini tetap saja eksis dan memiliki multiperan yang tidak bisa
dianggap kecil dalam masyarakat dan negara yang katanya modern dan
sekuler sekali pun.

Meski begitu, di tengah kegairahan mengusung
simbol-simbol agama, muncul kesan bahwa yang lebih menonjol adalah
revitalisasi pemikiran lama, miskin pemikiran alternatif visioner yang
menawarkan solusi problem kemanusiaan global.  

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT
Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Category: BERITA SERBA SERBI | Views: 1085 | Added by: budi | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

Calendar

Entries archive

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024