Main
 
BUDI SANTOSOFriday, 26.04.2024, 7:12:32 AM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
BERITA SERBA SERBI
BERITA UMUM
BERITA UNIK,LUCU DAN ANEH
BERITA YANG UNIK DAN YANG ANEH
EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI DAN BISNIS
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
BERITA SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
MP3
Kumpulan MP3
SENI DAN BUDAYA
SENI DAN BUDAYA
GAME
KATA - KATA MUTIARA
FILM
PUISI DAN PANTUN

DETIK

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » 2011 » September » 24 » “21st Century Classical Japanese Music and Dance", Membius Pecinta Seni Jepang
9:29:00 AM
“21st Century Classical Japanese Music and Dance", Membius Pecinta Seni Jepang




(foto:SH/CR-17)




Serangkaian alat musik yang tampak asing tertata rapi di
panggung auditorium Kampus Anggrek, Bina Nusantara (Binus), Jakarta,
Rabu (21/9).


Tak berapa lama kemudian, masuklah tujuh wanita yang
berjalan lemah gemulai, serasi dengan kimono mereka yang memancarkan
kelembutan warna-warna pastel.


Detik berikutnya, enam dari para wanita tersebut "membius"
puluhan penonton yang memadati auditorium melalui permainan musik
lembut yang melantunkan lagu "Bengawan Solo".


Melalui petikan koto (alat musik petik tradisional Jepang)
dan biwa (semacam gitar) yang dipadu dengan alunan shakuhachi (suling
bambu) serta tabuhan kakko (drum Jepang), tercipta nuansa berbeda dari
lagu gubahan almarhum Gesang itu.


Lagu "Bengawan Solo" membuka pertunjukan seni tradisional
Jepang yang bertajuk "21st Century Classical Japanese Music and Dance"
yang dipersembahkan oleh Japan Performing Arts Associations (JAA).


Menyusul setelahnya, sebuah komposisi musik klasik dari
abad 10 berjudul "Etenraku" yang dibawakan dengan megah melalui tabuhan
kakko serta petikan koto senar 17 bernada rendah. Konon musik ini biasa
dimainkan di istana oleh kalangan bangsawan, terutama sang kaisar.


Penampilan ini disambut meriah oleh penonton. Begitu juga
ketika mereka memainkan lagu "Rokudan No Shirabe" serta "Mine No Tsuki"
yang melukiskan musim panas di Jepang. Alunan lembut shakuhachi membawa
pendengarnya memasuki khayalan akan pemandangan bulan dari balik
pegunungan yang disertai deburan ombak lautan.


Sementara itu, tembang "Tori No Youni" gubahan Tadao Sawai
membuat penonton merasa menjadi seekor burung yang terbang bebas di
angkasa. Pasalnya, dalam lagu ini tiga buah Koto dimainkan secara modern
(diketuk dan ditarik), sehingga menghasilkan irama yang cepat dan
mengentak.


Tak hanya musik, malam itu penonton juga disajikan
pemandangan indah dari gerakan gemulai sang nihonbuyo (penari), Kihi
Hanayagi, yang turut menghiasi beberapa lagu melalui tarian dan
permainan kipas Jepang-nya.


Dalam karya seorang komposer tunanetra, almarhum Michio
Miyagi, yang berjudul "Haru No Umi", nihonbuyo tampak menarikan tarian
yang melambangkan perdamaian dalam suasana lautan musim semi. Sementara
itu, dalam lagu klasik Jepang "Sakura", nihonbuyo diibaratkan sebagai
keindahan bunga sakura.


Sebuah lagu bertajuk "Shirinpo" dibawakan dengan hikmat
karena merupakan sebuah penghormatan dan peringatan akan peristiwa gempa
bumi yang dialami Jepang bulan Maret lalu. Dentingan perkusi, yang
sebenarnya adalah alat berdoa, menghasilkan suara yang membuat bulu roma
berdiri.


Setelah membawakan 10 komposisi musik yang menawan, JAA
mengakhiri penampilannya lewat sebuah tembang yang sangat populer di
dunia, "Sukiyaki". Iramanya yang riang membuat seluruh penonton larut
dalam suasana dan ikut menyanyikan lagu tersebut.


Sisipan Pengetahuan


Penampilan JAA yang merupakan bagian dari Jak-Japan
Festival Matsuri 2011 tidak sekadar menyajikan musik dan tarian. Sesuai
dengan tema besar yang mereka usung, yaitu "Terima Kasih Indonesia",
pada kesempatan itu mereka juga memberikan pengetahuan seputar
kebudayaan Jepang kepada para penonton yang mayoritas adalah pelajar.


Setiap pergantian lagu, mereka selalu menceritakan kisah
di balik lagu tersebut serta menyisipkan pengetahuan seputar alat-alat
musik yang mereka gunakan, mulai dari bahan baku sampai sejarahnya.
Salah satunya adalah biwa, alat musik yang sekilas tampak seperti gitar.


"Senar Biwa terbuat dari sutra dan dimainkan dengan cara
dipetik menggunakan bachi. Menurut sejarah, biwa berasal dari negeri
China, tapi banyak berita yang mengatakan bahwa alat musik itu berasal
dari Persia," papar Akiko Sakurai, juru bicara JAA malam itu.


Selain memperkenalkan berbagai alat musik Jepang, JAA juga
memberikan kesempatan pada lima mahasiswa Binus untuk memeragakan
gerakan dalam tarian Jepang. Sesi workshop ini dipimpin langsung oleh sang nihonbuyo, Kihi Hanayanagi.


Hanayanagi mengatakan bahwa setiap tarian di Jepang harus
diawali dan akhiri dengan hormat. Ia juga menjelaskan, setiap gerakan
menggunakan kipas dan memiliki arti yang berbeda. Misalnya, untuk
menggambarkan gerakan ombak, angin, dan sebagainya.


Sebelum ditampilkan di Jakarta, pertunjukan seni
tradisional Jepang ini telah ditampilkan di Universitas Padjadjaran,
Bandung, pada Selasa (20/9). Bedanya, kali ini JAA juga menampilkan
kolaborasi apik dengan enam mahasiswa Binus yang tergabung dalam Taiko
Club. (CR-17)


Category: SENI DAN BUDAYA | Views: 1164 | Added by: budi | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

Calendar

Entries archive

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024