Main
 
BUDI SANTOSOThursday, 25.04.2024, 1:08:47 PM



Welcome Guest | RSS
Main
Site menu

Section categories
BERITA SERBA SERBI
BERITA UMUM
BERITA UNIK,LUCU DAN ANEH
BERITA YANG UNIK DAN YANG ANEH
EKONOMI DAN BISNIS
EKONOMI DAN BISNIS
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
BERITA POLITIK, HUKUM DAN KRIMINAL
SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
BERITA SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN
MP3
Kumpulan MP3
SENI DAN BUDAYA
SENI DAN BUDAYA
GAME
KATA - KATA MUTIARA
FILM
PUISI DAN PANTUN

DETIK

Statistics

Total online: 1
Guests: 1
Users: 0

Main » 2011 » October » 7 » Reshuffle di Persimpangan Jalan Jum'at, 7 Oktober 2011 - 07:45 wib
9:09:30 AM
Reshuffle di Persimpangan Jalan Jum'at, 7 Oktober 2011 - 07:45 wib





Usia Kabinet Indonesia
Bersatu jilid II sudah lebih dari seratus hari. Dari Istana Presiden di
Cipanas, sang nakhoda memaklumatkan keberhasilan pemerintahannya.
Menurut dia, hingga seratus hari kerja -sejatinya seratus hari plus lima
tahun- (program pemerintahan) telah mencapai target (sukses) 99 persen.
Tentu klaim ini bisa diperdebatkan karena sejumlah pihak memiliki
indikator berbeda untuk menilai. Nah, jika program seratus hari
dinyatakan 99 persen sukses, mengapa pula ada usul agar Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) merombak kabinet?

Inilah anomali dalam
jagat politik Indonesia. Konklusi bisa ditarik tanpa menimbang premis
minor dan mayornya: pemerintahan disusun oleh parpol yang menyetor
kadernya untuk duduk di kabinet. Mereka disebut kawan kongsi Partai
Demokrat yang bersama-sama menyokong pemerintahan SBY-Boediono. Setelah
(pemerintahan) berjalan seratus hari dan diklaim sukses, kabinet malah
hendak dirombak.

Tapi, jangan berhenti pada logika umum untuk
memahami politik di negeri yang lepas dari otoritarianisme 12 tahun lalu
ini. Masuklah ke dalam sengkarut ikatan politik yang melatarbelakangi
pembentukan kabinet. Di sini, rasanya, politik dan subjek politik (baca:
aktor dan parpol) berada di persimpangan jalan.

Usul reshuffle
berasal dari petinggi Partai Demokrat terkait dengan dinamika yang
berkembang di Panitia Khusus Angket Bank Century. Demokrat gerah
terhadap parpol kawan kongsi, khususnya Partai Golkar, PKS, dan PPP.
Sebab, ketiga parpol itu bakal menentukan rekomendasi Pansus Century
nanti. Apabila kawan koalisi kompak, seluruh kebijakan KSSK dan BI pada
masa lalu seperti merger, pemberian fasilitas jangka pendek, penetapan
Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, hingga pengucuran dana
talangan (bailout) kepada bank yang pernah dimiliki Robert Tantular cs itu dianggap tak bermasalah.

Sebaliknya,
jika Golkar, PKS, dan PPP bergabung dengan tiga parpol oposisi -PDIP,
Hanura, dan Gerindra- kesimpulan terkait dengan kebijakan yang antara
lain diputuskan Boediono dan Sri Mulyani Indrawati tersebut akan menguak
tabir skandal Bank Century. Ini yang ditunggu-tunggu publik, yang
notabene adalah konstituen parpol pemilik kursi di parlemen.

Kredibilitas
Pansus Century dan parpol akan sangat ditentukan oleh kesimpulan akhir
panitia yang dibentuk pada Desember 2009 itu. Tentu kesimpulan akhirnya
harus berdasar fakta dan data yang diperoleh selama proses penyelidikan.
Bukan sejenis apriori yang beralas kepentingan semata. Kita
mengingatkan anggota Pansus Century untuk berangkat dari temuan BPK yang
menyatakan ada sejumlah pelanggaran dan keganjilan dalam fase-fase
menuju bailout Century. Temuan BPK itulah soko guru-nya, dan bukannya politisasi yang menyertai kerja pansus yang akan berakhir Maret nanti.

Gertakan politik

Reshuffle
dalam jalinan politik merupakan pedang bermata dua: ia jadi semacam
gertakan -kalau bukan ancaman- kepada parpol untuk mengerem anggotanya
di Pansus Century. Ancaman tersebut biasanya berujung pada pemecatan
kader parpol dari kabinet.

Kedua, reshuffle bisa dibaca
sebagai uluran tangan kepada parpol semacam Golkar, PKS, dan PPP untuk
menambah kursi di kabinet. Sebentuk tawaran untuk mengubah haluan atau
kritisisme kadernya di parlemen. Isu reshuffle yang dikaitkan
dengan perilaku kawan koalisi di parlemen itu pernah juga terjadi pada
masa Abdurrahman Wahid atau Megawati Soekarnoputri. Sebuah risiko yang
secara otomatis melekat kepada parpol dan kadernya yang duduk di
kabinet.

Yang harus dicamkan, Demokrat di satu sisi dan
Golkar-PKS di sisi lain punya optik berbeda soal koalisi. Demokrat sejak
awal selalu mengumandangkan bahwa koalisi terjadi antara mereka dan
parpol lain dalam mendukung pemerintahan SBY-Boediono. Sedangkan Golkar
dan PKS menyebut tak terikat koalisi dengan Demokrat, melainkan dengan
Presiden SBY. Ini menegasikan Demokrat. Tak heran jika petinggi Golkar
dan PKS, dalam kasus Bank Century, menyatakan bahwa keduanya terikat
kepada ”koalisi kebenaran”. Maksudnya, anggota kedua parpol di Pansus
Century itu diminta mengungkap skandal tersebut tanpa memikirkan koalisi
parpolnya dengan Presiden SBY.

Menengok kesimpulan sementara
fraksi-fraksi di DPR, kita menangkap sinyal koalisi yang dibangun
Presiden SBY tidak efektif. Hanya satu parpol, yakni PKB, yang sebangun
dengan Demokrat. Selebihnya, tujuh fraksi lain -dengan bahasa
masing-masing mendapati ada keganjilan, pelanggaran, dan indikasi tindak
pidana korupsi pada tiga tahap skandal Bank Century. Kawan kongsi
semacam Golkar, PKS, PPP, dan PAN memiliki kesamaan pandangan dengan
tiga parpol di kubu oposisi; PDIP, Gerindra, dan Hanura.

Tampak rapuh

Koalisi
yang dibangun SBY sebetulnya rapuh karena tidak diikat platform dan
ideologi yang sama. Sebaliknya, koalisi berfondasi pada pembagian kursi
di kabinet, semacam power sharing. Siapa yang bersedia mendukung
SBY-Boediono memperoleh kursi kabinet sesuai dengan proporsi suara dan
kursi parpol di parlemen. Kira-kira begini logika yang dibangun: Semakin
banyak parpol pemilik kursi di DPR bergabung dalam koalisi, maka
pemerintahan bakal kian kuat. Dengan demikian, basis dukungan di
parlemen akan kukuh dan pemerintah bisa menyusun kebijakan dengan mulus.
Itu berarti pemerintahan akan efektif dan mampu mencapai target-target
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Premis itu disusun dari
kesadaran bahwa sistem kepartaian yang dianut negeri ini adalah
multipartai. Artinya, presiden terpilih sebisa-bisanya harus menggeser
orientasi parpol menjadi eksponen (pendukung) pemerintahan. Ia
berkepentingan mengurangi kekuatan oposisi, setidaknya menjadi
minimalis. Dengan bergabungnya Golkar ke koalisi pendukung SBY-Boediono,
75 persen lebih suara parpol di tangan pemerintah yang berkuasa.
Harapannya, kebijakan-kebijakan pemerintah bakal selalu dapat lampu
hijau dari parlemen. Tapi, harapan itu barangkali akan mengempis jika
pada 4 Maret lalu Pansus Century menetapkan kesimpulan akhir seperti
konfigurasi sikap fraksi-fraksi saat ini.

Begitu pula, kita bisa
memetik pelajaran dari dinamika politik saat ini. Sistem pemerintahan
presidensial yang dianut Indonesia mengharuskan rampingnya parpol.
Karena itu, instrumen penyederhanaan parpol lewat mekanisme electoral threshold dan parliamentary threshold
harus senantiasa ditingkatkan. Lewat Pemilu 2009, hanya sembilan parpol
yang lolos ke parlemen. Dengan perangkat parliamentary threshold,
diharapkan jumlah parpol di parlemen hasil Pemilu 2014 nanti berkurang
sehingga tinggal lima saja. Jika tidak, presiden yang dipilih langsung
oleh rakyat akan selalu tersandung di parlemen (Jawa Pos, 11 Februari
2010).

M Nafiul Haris
Peneliti di el-Wahid Center, Fakultas Ilmu Sosial-Politik, Universitas Wahid Hasyim Semarang
Category: SOSIAL DAN KEMASYARAKATAN | Views: 886 | Added by: budi | Rating: 0.0/0
Total comments: 0
Name *:
Email *:
Code *:
Login form

KOMENTAR

OLAHRAGA

PENGUNJUNG

Calendar

Entries archive

BERITA TERKINI


Copyright MyCorp © 2024